Lihat ke Halaman Asli

Tri Ardriani

Plot Enthusiast

Penyediaan Energi Listrik Papua Barat: Memanfaatkan Potensi EBT Papua Barat

Diperbarui: 26 Mei 2019   08:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapasitas terpasang dan rencana pembangunan pembangkit di Papua Barat berdasarkan RUPTL PLN 2019-2028.

Papua Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan rasio elektrifikasi masih di bawah rata-rata. Berdasarkan pernyataan Dirjen Ketenagalistrikan Andy Noorsaman Sommeng, rasio elektrifikasi di seluruh wilayah Indonesia pada akhir 2018 telah mencapai 98,3% (republika.co.id). Di Provinsi Papua Barat, khususnya, rasio elektrifikasi berada di angka 88,15% (pospapua.com).

Sistem tenaga listrik di Papua Barat saat ini adalah isolated tersebar, yaitu menggunakan pembangkit-pembangkit berkapasitas rendah yang cukup untuk melistriki satu wilayah kecil, dengan jaringan interkoneksi 20 kV yang menghubungkan beberapa sistem. Sistem tenaga listrik terbesar di Papua Barat terdapat di Sorong, dengan kapasitas 54 MW dan melayani beban puncak 45,3 MW. Penjualan energi listrik di seluruh Papua Barat pada 2018 mencapai 480 GWh. Penjualan ini diproyeksikan akan meningkat sekitar 8% per tahunnya dalam sepuluh tahun ke depan.

Pembangkit-pembangkit di Papua Barat mayoritas menggunakan bahan bakar diesel, minyak, dan gas. Menurut RUPTL PLN tahun 2019-2028, direncanakan pembangunan pembangkit sebesar 297,9 MW, 230 MW di antaranya berbahan bakar dual fuel (gas dan HSD). Komposisi pembangkit berbasis EBT, yaitu PLTS, dalam rencana ini tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar 1% saja. Terdapat potensi pengembangan PLTA di sungai Warsamson sebesar 20 MW, tetapi realisasinya masih terbentur permasalahan sosial karena wilayah sekitar sungai Warsamson merupakan tempat sakral bagi masyarakat setempat (pusaka.or.id).

Membangun pembangkit berbasis EBT membutuhkan biaya investasi yang cukup besar. Akan tetapi, dengan kondisi sumber bahan bakar fosil yang menipis serta Paris Agreement yang juga diikuti oleh Indonesia, pengurangan penggunaan bahan bakar fosil menjadi sangat penting.

Dalam tulisan ini akan dibahas simulasi kondisi ketenagalistrikan Papua Barat dengan menggunakan pembangkit EBT yang memanfaatkan semua potensi EBT di Papua Barat. Berikut adalah data yang digunakan:

Kebutuhan energi:

  • Listrik: 523 GWh/tahun
  • Industri:
  • Batu bara: 1,628 TWh/tahun
  • Minyak: 40,705 TWh/tahun
  • Transportasi:
  • Jet: 35,71 TWh/tahun
  • Diesel: 1,85 TWh/tahun
  • Bensin: 1,95 TWh/tahun

Suplai tersedia:

  • PLTB: 437 MW
  • PV: 8,1 MW
  • PLTA River: 3,876 MW
  • PLT Arus Laut: 8,217 MW
  • Bendungan PLTA: 22,371 MW
  • PLTPB: 75 MW
  • Konten CO2 dalam bahan bakar:
    • Batu bara: 95 kg/GJ
    • Bensin/diesel: 74 kg/GJ
    • Gas alam: 56,7 kg/GJ
    • LPG: 59,64 kg/GJ
    • Sampah: 32,5 kg/GJ

Biaya investasi dan harga bahan bakar yang diperlukan untuk sistem tersebut adalah sebagai berikut:

Biaya investasi dan harga bahan bakar untuk pembangkitan.

Dengan menggunakan energy mix seperti yang disebutkan sebelumnya, didapatkan kondisi ketenagalistrikan Papua Barat secara mingguan, bulanan, dan tahunan seperti dalam gambar-gambar berikut:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline