Umurku tujuh tahun saat itu. Ketika aku mulai belajar membaca dan berhitung sekaligus belajar membantu memilah benda-benda yang berserakan di sekelilingku seperti kardus, botol plastik, majalah serta koran bekas untuk kemudian dimasukkan ke dalam karung, diikat lalu ditimbang. Aku perhatikan hampir semua anak-anak seusiaku yang tinggal di tempat ini melakukan hal yang sama mungkin semenjak mereka dapat berjalan dan berbicara. Seperti sebuah kewajiban atau kegiatan sampingan selain mereka bermain. Tetapi bagi anak-anak yang tinggal di kampung rongsokan ini melakukan hal tersebut sudah biasa demi meringankan pekerjaan orang tuanya.
Sedangkan bagiku pekerjaan memilah barang-barang bekas ini belum lama aku jalani mungkin setahun belakangan setelah emak meninggal akibat serangan jantung. Emak. Perempuan tua yang begitu teguh dalam prinsip, keras bersemangat namun berhati lembut dan penyayang. Ia yang mati-matian menabung dari hasil pendapatan rongsokan barang bekas demi niatnya membiayai aku masuk sekolah. Meski harapannya tersebut tinggal rencana karena seluruh tabungannya raib dicuri oleh seseorang yang belakangan diketahui kalau yang mencuri uang tersebut adalah anak kandungnya sendiri.
"Emak kalau sama anak sendiri pelitnya minta ampun tapi sama anak pungut ini, anak yang tidak jelas juntrungannya mungkin juga anak jadah. Emak bela-belain mengurus dan membiayai hidupnya". Laki-laki tambun berkulit hitam dengan rambut acak-acakan itu terus nyerocos sambil mengamuk, melempar segala barang-barang yang ada di dekatnya bahkan ia sempat membentak emak dengan kata-kata kasar. Dan yang membuat bulu kudukku merinding saat ia menunjuk mukaku dengan geram, gemas. Rasa-rasanya hendak ia tinju wajahku lalu ia lemparkan aku keluar dari dalam rumah ini.
"Kalau kau berani menyentuh anak ini akan ku lakukan apa saja agar kau jera dalam penjara. Sungguh aku tahu duit yang kau minta dariku ini untuk bermain judi dan mabuk-mabukan. Kau pikir aku buta. Aku tahu hampir semua orang di sini melakukan hal tersebut dengan dalih pelepas penat dan kejenuhan. Aku masa bodoh kalau mereka yang berbuat. Tetapi lebih dari sekali aku peringati kamu tolong jauhi hal tersebut sebab kita ini orang miskin, susah cari duit jangan dipakai kesenangan untuk semacam itu. Sudah tak ingat Tuhan, maksiat pula."
Laki-laki tambun dengan wajah sangar tersebut tanpa berkata lagi terus keluar dan pergi entah kemana. Sambil menerobos gerimis di kesunyian malam ia pergi membawa kekesalan, marah sekaligus dendam di hatinya. Semenjak itu aku tak pernah lagi melihat dirinya kembali pulang. Sepertinya emak juga tak pernah menunggu kehadirannya datang. Begitu juga bapak tak pernah bertanya kemana anak lelakinya pergi menghilang.
Dan setelah Emak meninggal semua terasa jauh berbeda tak ada lagi tempat aku bermanja, bercerita. Tak ada lagi dongeng malam dari Emak sebelum lelap tertidur. Meski bukan dongeng kancil dan buaya atau dongeng tentang putri malam. Yang didongengkan emak hanya kisah masa kecilnya di kampung bersama teman-teman sebayanya dulu. Hanya ia seorang yang begitu sayang dan sangat memperhatikanku beda dengan bapak yang lebih banyak diam seolah acuh tak acuh.
Tetapi akhir-akhir ini bila datang rasa bosan setelah melakukan pekerjaan membantu bapak memilah-milah barang rongsokan aku ingin sekali mengetahui di mana rumah badut. Namun entah kenapa juga aku memilih berkunjung ke rumah badut yang tidak aku tahu siapa dia sebenarnya. Bisa jadi di balik topeng atau make up tebal berwarna di wajahnya itu ia adalah sosok penjahat atau pencuri atau mungkin juga penculik anak.
Lagi pula bila aku berkunjung ke rumah badut entah ia mau menerima kedatanganku atau tidak. Yang pasti ada sesuatu yang membisikkan telingaku agar aku dapat berkunjung ke rumah badut. Entah badut yang mana. Padahal ada banyak badut di kota ini. Tersebar di mana-mana. Ada badut mall, badut pasar malam, badut lampu merah, badut-badut yang suka ceramah juga badut-badut yang pintar berkhianat. Entah rumah badut mana yang mesti aku datangi. Yang jelas bisikkan itu begitu kuat. Bisikan itu menceritakan bahwa di dalam rumah badut pasti banyak mainan, banyak sesuatu yang menyenangkan.
Di tambah lagi dalam keyakinanku kalau badut mempunyai nomor telepon dan bisa dihubungi sudah pasti ia juga mempunyai tempat tinggal. Terlintas dalam pikiranku kalau rumah badut pasti begitu menarik dan unik serta pantas dikunjungi bagi anak kecil sepertiku. Bagi anak kecil yang ingin terus berlari dan bermain bersama hal-hal yang menyenangkan, segala yang menarik perhatian. Aku membayangkan halaman rumah badut yang luas penuh tanaman berbunga.
Dan di dalam halaman tersebut terdapat beberapa wahana bermain bagi anak-anak. Ada kolam renang, ayunan, perosotan, jungkat jungkit, kolam bola bahkan mungkin kemidi putar seperti di pasar malam. Aku bayangkan rumah badut bak istana berwarna-warni dengan cat berwarna terang namu lembut di mata. Balon-balon berhias berwarna-warni dengan pita merumbai yang mengapung di langit-langit rumah. Sofa yang empuk dengan lapisan beludru. Televisi serta lukisan-lukisan indah pemandangan. Barangkali juga boneka-boneka lucu yang menggemaskan tersusun rapi di tiap-tiap ruangan termasuk juga segala jenis coklat dan permen beraneka rasa tergeletak di mana-mana.
Aku yakin bila ada kesempatan berkunjung ke rumahnya ia pasti akan menyambutku dengan senyum manis dan renyah tawa. Ia akan menari dan beratraksi demi menerima kehadiranku seperti memainkan tiga bola merah dari kedua tangannya atau mengeluarkan kembang dari dalam lengan bajunya. Badut. Baju dan celananya yang kebesaran. Sepatunya yang lonjong dengan tonjolan bulat ke atas namun seolah pas ia kenakan.