Sudah menjadi pemandangan yang lazim di sini. Tiga atau dua minggu menjelang hari raya Idul Adha lahan-lahan kosong yang berada di pinggir jalan raya bahkan yang di atas trotoar jalan akan dipadati oleh pedagang hewan kurban. Kemunculan mereka seperti lelaki penggembala yang datang dari jauh menuju pusat ibukota. Bergerombol masuk membawa semua hewan ternaknya yang sehat dan subur untuk diperjual belikan.
Tenda-tenda bambu akan terlihat berdiri di tempat-tempat kemunculan mereka dengan terpal lebar dan kumal sebagai atapnya. Sedikit semrawut memang, tak beraturan tetapi asalkan hewan-hewan kurban dapat dikandangkan terlindung dari panas dan hujan itu pun sudah cukup. Sudah cukup pula bagi mereka. Para pedagang hewan yang kebanyakan lelaki paruh baya itu dapat tempat berteduh dan beristirahat selama menjalani misi jual beli hewan peliharannya hingga hari raya menjelang.
Tidak perlu menunggu lama memang. Dan selalu kehadiran mereka menjadi pusat perhatian orang. Sebentar saja lapak penjualanhewan tersebut akan ramai didatangi orang. Ada yang datang berniat membeli hewan kurban, ada juga yang datang para preman meminta upah sewa lahan dan sesekali ada pula dari dinas kesehatan datang untuk memeriksa hewan-hewan kurban apakah layak untuk diperjual belikan.
Namun bagi sebagian anak-anak tempat penjualan hewan kurban bagaikan kebun binatang. Atau bisa jadi seperti sebuah pasar malam dadakan di mana nanti para penjual makanan pun akan mengisi ruang-ruang kosong di luar kandang. Anak-anak akan terlihat bergembira dan asyik bermain di sana. Ditemani oleh para orang tuanya mengisi waktu senggang di jam usai sekolah.
Mereka tak perduli aroma tak sedap dari kotoran hewan yang jatuh berceceran di tanah basah. Melekat di hidung hingga masuk sampai ke dalam lambung. Bahkan aroma perengus salah satu hewan kurban itu menempel di baju hingga masuk ke dalam ke saku. Meskipun begitu anak-anak senang bahkan mereka menyempatkan memberi makan hewan-hewan kurban. Berupa dedaunan atau jerami yang telah kering di sekitaran area kandang.
Sungguh sebuah pemandangan yang lazim di sini setiap tahunnya. Para penggembala yang jauh datang dari balik ibukota. Mendirikan tenda-tenda di atas lahan kosong dan trotoar jalan menunggu para calon pekurban. Siapa saja boleh datang, siapa saja boleh lihat, tak ada batasan usia, tak pula di pungut bayaran.
*******
Jumat. Pukul 5.30 pagi saat langit menjerit hendak melahirkan matahari. Ismail sudah bangun dari tidurnya, bangun lebih awal dari biasanya. Entah siapa yang membangunkan bocah ingusan itu sepagi ini, tak seperti biasanya. Tidak ada alarm berbunyi nyaring atau jam weker berdering. Tidak ada penunjuk waktu menggantung atau menempel di dinding kayu kamarnya selain cericit curut, lengking kepak nyamuk, dengus nafas tikus. Sepertinya penunjuk waktu terjepit di sela-sela barang-barang yang bertumpuk. Mati kehabisan energi.
Bocah kurus berambut lurus yang berumur tujuh tahun itu segera berdiri setelah mengucek kedua matanya yang mungil. Segera ia melepaskan sarung yang dipakainya tidur tadi malam. Dilihat ayahnya pulas mendengkur di atas kasur lipat tanpa selimut dan bantal yang empuk. Beberapa ekor nyamuk mendarat di tangan dan kakinya. Sehat dan gemuk.
Ayahnya tidur agak larut semalam sebab sibuk memilah botol-botol plastik bekas minuman. Menguliti label botol, membersihkan botol dari kotoran hingga memasukan barang-barang bekas tersebut ke dalam karung sekaligus menimbang. Lima karung besar botol-botol plastik minuman berhasil dikerjakan dalam waktu tiga jam. Sedikit lambat memang tapi setidaknya semua terselesaikan. Besok ayahnya akan libur memulung.
Ismail tahu ayahnya mesti bangun lebih awal dari biasanya untuk segera ke masjid tetapi melihat wajah ayahnya yang begitu lelap tertidur anak ingusan itu tak tega juga membangunkannya. Toh nanti ayahnya akan bangun sendiri atau Wak haji yang datang membangunkannya.