Lihat ke Halaman Asli

Handy Pranowo

TERVERIFIKASI

Love for All Hatred for None

Serbuan Anjing

Diperbarui: 16 Januari 2024   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku ingin bercerita tentang apa yang kulihat dan ku alami dua minggu yang lalu. Kejadian aneh yang tak masuk akal sekaligus mengerikan tapi ini benar-benar nyata. Aku yakin tidak sedang bermimpi apalagi mabuk berat.

Malam itu aku baru saja pulang kerja. Seperti biasa aku harus berjalan kaki dari tempat kerjaanku sejauh tiga ratus meter untuk mencapai halte bus terdekat. Ke ujung perempatan jalan besar. Halte bus yang sejak puluhan tahun telah berdiri itu berada di sudut jalan dekat sebuah taman.

Namun malam itu langit sedang tidak bersahabat halilintar bersahut bagai burung malam riuh mencuat. Angin berhembus kencang menampar pohon-pohon besar sepanjang jalan yang aku lalui. Daun-daun yang tak kuat menahan gempuran angin jatuh melayang berterbangan.

Ku langkahkan kakiku lebih cepat agar sampai di tempat tujuan. Tetapi aku merasa heran kenapa jalan pulang yang biasa ku lewati ini nampak lengang. Tidak seperti biasanya. Tidak banyak orang-orang yang mampir di warung-warung makan kaki lima sepanjang jalan ini. Biasanya di kawasan ini semakin malam semakin banyak pengunjung datang.

Apa karena mendung menggelayut di langit serta halilintar yang terus menerus belingsatan memercik aliran listrik maka orang-orang jadi takut keluar. Takut nanti akan turun hujan deras. Takut kehujanan malam-malam. Sementara itu aku terus berjalan melewati tenda-tenda kaki lima dan ku tak perdulikan lagi soal sepi atau tidaknya tempat ini.

Di dalam hati aku berdoa semoga hujan tidak turun di tengah jalan menuju pulang. Semoga aku bisa cepat naik angkutan umum dan sampai rumah dengan aman. Semoga. Sepuluh menit berjalan kaki akhirnya sampai juga di ujung jalan besar. Sampai juga di halte tempat ku menunggu angkutan umum.

Tetapi aneh. Halte ini justru kelihatan lengang tak ku jumpai seorang pun di sini. Kemana karyawan-karyawan hotel dan cafe yang biasa pulang bersamaku. Kemana barisan mobil angkot yang biasa "ngetem" sambil menahan kantuk. Kemana wanita tua pedagang rokok dan kopi sachet yang setiap malamnya bercerita tentang hidup yang semakin sulit di tempuh.

Kemana orang-orang. Halte ini tak biasanya sepi seperti ini. Apakah aku yang terlambat keluar dari tempat kerja. Atau barangkali angkutan umum itu telah lewat dan semua orang telah di angkut pulang. Tapi tidak mungkin jam pulang kerjaku masih sama dengan hari kemarin. Mungkin ini karena langit yang tengah marah. 

Jam satu kurang lima belas menit. Malam terkurung mendung nan murung. Ku perhatikan jalan raya di depanku bagai menyepi sendiri. Sesekali satu atau dua kendaraan saja yang lewat. Melesat secepat kilat. Malam apa ini? Malam Jumat kliwon kah. Ah, ini ibukota pikirku bukan dusun di lembah gunung.

Angin kencang kini menggerus tubuhku. Menggelitik tulang-tulangku yang semakin rapuh. Aku kedinginan. Astaga, kenapa perasaanku jadi tidak enak seperti ini. Adakah hal buruk akan terjadi. Lebih setengah jam duduk sendiri menunggu di halte dengan perasaan tidak menentu. Sementara angkutan umum belum kunjung datang.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara mesin kendaraan berderu kencang. Sepertinya itu bukan suara angkutan umum yang aku tunggu, itu lebih mirip suara mesin truk. Benar saja. Tak berapa lama kendaraan besar itu pun melintas di depan halte. Dua lampu depannya terang menyala menyilaukan mata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline