"Lailahaillallah, Lailahaillallah, Lailahaillallah" lantunan suara dzikir sayup-sayup terdengar menyelimuti jalan setapak menuju sebuah bukit kecil di ujung persawahan dekat mulut hutan pohon jati yang luas.
Rombongan kecil itu terus bergerak membelah kesunyian malam, hawa dingin menerpa badan di cekam rasa takut yang sangat mendalam.
Langit sebagian mendung, bulan tertutup awan, angin sesekali menggoyang ranting pepohonan di kanan kiri jalan. Suara-suara serangga serta burung-burung malam riuh berterbangan di atas kepala, seakan-seakan ikut serta dalam rombongan penguburan.
Sejatinya tak ada satu pun warga yang berani melewati jalan tanah setapak ini apalagi pada malam hari sebab menjadi jalur jalan ular-ular berbisa.
Beberapa warga Dusun Meranti yang berada dalam rombongan pengantar jenazah tersebut tak ada yang berani berbicara satu sama lain.
Tak ada ketakutan yang begitu sangat meneror mereka selain malam ini, mereka paham betul siapa sebenarnya jenazah yang sedang mereka bawa menuju bukit kecil untuk segera di kubur.
Di depan dua orang dengan lampu senter besar menerangi jalan, di bagian tengah empat orang memanggul keranda mayat di ikuti tiga orang di belakangnya yang seluruhnya para lelaki warga dusun Meranti.
Pak Sastro selaku kepala warga dan mbah Jiwo yang di kenal sebagai dokter pengobatan alternatif yang terkenal di dusun itu ikut serta dalam rombongan tersebut termasuk Ustadz Deden yang sedari tadi mengomandoi para pengusung keranda untuk tidak berhenti berdzikir sebelum sampai di tempat tujuan.
Ini adalah kesepakatan bersama para warga untuk memakamkan jenazah Nyai Kubur di sebuah bukit kecil di ujung persawahan yang jauh dari tempat tinggal mereka.