Di jalan ini kamu berdiri mematung setelah kekasihmu memutuskan pergi meninggalkanmu sendiri menghadapi hidup. Dan tak ada yang lebih rapuh saat itu selain hatimu yang basah di guyur hujan yang jatuh.
Engkau menangis seketika, payung hitam yang kau genggam pun tergeletak jatuh di saksikan lampu jalan dan genangan air yang kau injak. Kamu tak mampu berbuat banyak dan kepasrahan bagai kilat tanpa gelegar.
Perempuan bagi kamu yang baru tahu rasa rindu begitu sakitnya ketika harus di tinggal pergi tanpa alasan, meski bibir telah kuncup di hisap, di cumbu rayu. Toh apalah artinya sesal cinta di badan bila bunga yang mekar di rangkai tanpa tali ikatan.
Lalu setelah kejadian itu kamu menyenangi kesendirian, mengunci pagar rumah hatimu yang hancur berantakan. Rambutmu jarang di sisir, tatap matamu kosong dan lebih sering berair. Tubuhmu lunglai tak enak tidur, tak enak minum, tak enak makan.
Engkau mencoba tabah, mencoba pasrah berharap ada keajaiban ia datang kembali agar dirimu kembali pulih dari kepedihan dan sakit hatimu dapat terobati.
Namun sekiranya hatinya tak bergeming dan ingatanmu terus melekat kepadanya, kepada laki-laki yang melumpuhkanmu dan menitipkan bulan ke dalam perutmu.
Hingga kedua orang tuamu menanyakan kenapa dirimu selalu termenung, kenapa akhir-akhir ini kamu sering mengeluh mual dan pusing. Apa yang sedang kamu pikirkan wahai anakku, apakah kamu sedang sakit, apakah kamu masuk angin.
Entah apa yang mesti kamu jawab, kamu bingung, kamu takut, kamu belum lulus sekolah, kamu sadar ini salah dan tak tahu harus bagaimana memilah-milah hingga akhirnya kamu tak tahan juga, kamu berlari sejauh mungkin dari rumah dan tak pernah ingin kembali.
Payung hitam yang terakhir menemanimu saat hujan itu menggantung lesu di dinding kamar, orang-orang datang ke rumahmu begitu juga keluarga besarmu mereka tengah menghibur ayah dan ibumu yang menangis pilu.
Handy Pranowo