Aku menjadi bimbang untuk keluar rumah karena hujan belum berhenti dari semalam. Aku takut basah, takut dingin, takut sakit dan bila sakit aku takut ke dokter, takut disangka covid, takut diisolasi, diangkut ke wisma atlet.
Maka sengaja aku duduk di sini mendengar halilintar berbunyi sambil menulis puisi, amankah? sementara pikiran berjejal dengan kreditan motor, rumah kontrakan, harga telor, hingga mulut istri yang merdu bernyanyi tenor
"bang, kalo narik yang bener jangan kebanyakan molor, dapur nih biar ngebul, ee nulis puisi lagi mau jadi Sapardi Djoko Damono, hujan bulan Juni, ini February bang"
Aku membatin, istriku memang gaduh tak hanya di tempat tidur namun juga di dapur bila di temuinya di sana tak ada beras tak ada bumbu.
Hujan belum juga berhenti dari semalam, aku khawatir soal banjir, sampah-sampah akan mengambang, air keruh limbah oli, tikus-tikus asyik berenang ke sana kemari dan tetangga di sebelah sering mengeluh soal banjir yang tak pernah berhasil tuntas di urus.
Pening, hidup katanya memang begitu tapi toh nyatanya aku masih ada dan Tuhan masih sayang kepadaku sampai dengan hari ini, rumah ku tidak bocor, keluarga kecil ku baik-baik semua tidak ada yang sakit dan aku masih bisa memberikan makanan kepada saudara yang terpapar Covid.
Maka nikmat mana lagi yang mesti aku dustakan sedang kopi secangkir dan rokok sebatang dapat menenangkan pikiranku yang berjejal.
Handy Pranowo
18022021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H