Yang hilang di bulan September adalah dirimu seseorang yang biasa ku temui di selasar malam berpayung kan hujan menunggu mendung datang.
Entah kenapa engkau lebih menyukai kesendirian dari pada harus duduk berdua menikmati secangkir kopi yang tak pernah di aduk.
Kini aku sibuk mencarimu hingga ke balik lembar-lembar puisimu yang menggenangkan air mataku ke tempat biasa kau duduk. Aku rindu dirimu yang sendiri itu.
Mungkin kau jenuh atau bahkan menyadari kalau aku mulai jatuh cinta kepadamu dan kau cemas soal itu. Cemas bahwasanya cinta akan membuatmu jauh lebih dalam menyendiri di ketiadaan.
Sesuatu yang mustahil bagimu bila air mata berubah menjadi hujan sebab harus mencintai seseorang tanpa pernah merasakan sebuah pelukan. Katamu, aku sudah lupa caranya berpelukan meski seringkali menggigil kedinginan.
Aku ini pelupa, aku tak ingat banyak soal pertemuan, aku lebih senang menyendiri menunggu kegalauan dan hanya mendung yang setia menemaniku sebelum kamu datang.
Dan kini tak ada lagi yang ku temui di selasar malam yang menunggu mendung datang, kau hilang begitu saja sebelum sempat membalas cintaku yang deras bagai hujan.
7 September 2019
Jakarta Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H