Seharian ini aku termenung sambil mengingat umurku yang telah menginjak empat puluh.
Tak ada puisi yang ingin ku tulis, meski kata-kata berhamburan di depan cermin mengejekku untuk segera menulis.
Buku-buku di rak kayu penuh debu, sesak dan berkeringat. Diriku seakan-akan berputar-putar dalam ruang mencari tempat yang kosong untuk sembunyi sesaat dalam kegelisahan.
Sial, waktu tak bisa ku penggal barang sebentar, kegelisahan tak dapat ku tampung dalam gelas kopi pahit. Asap rokokku mengepul pelan-pelan di hisap kipas angin.
Dan anehnya wajahku menjadi samar di depan cermin yang baru saja ku bersihkan dengan lembaran koran yang berisi berita kematian.
Lalu tanpa di sengaja pikiranku mengingat sebuah perjalanan di mana saat itu aku tersesat mencari jalan pulang.
Aku ingin teriak hingga sesak di dadaku pecah namun kerongkonganku terasa berat, aku memutuskan untuk diam dan membiarkan detik waktu terus merangkak.
Sepertinya banyak kemungkinan-kemungkinan di hari esok, keluar dari rencana semula, membakar api gelisah, menuliskan puisi yang telah lama terpendam.
Namun apakah mereka akan percaya bahwasanya aku masih hidup dan ada? Sementara umurku di genggamNya, rahasia di balik rahasia. Mataku berair, aku menunduk.
Dan tiba-tiba di ketuknya pintu kamarku dari luar terdengar suara.
'Nak, apakah kamu sudah sholat Zuhur?