Lihat ke Halaman Asli

Dannu W

Natural Talent

Pilkada Jadi Bahan Mainan

Diperbarui: 10 Desember 2020   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Akurat.co

Perhelatan pemilihan kepala daerah tahun 2020 memang agak canggung dan terlalu dipaksakan. Saat pandemi yang sedang melanda, krisis kepemimpinan juga menyerang(katanya demikian). Meskipun pada saat pelaksanaan pilkada digadang-gadang akan mengutamakan protokol kesehatan tapi nyatanya ada lebih dari 1000+ orang petugas KPPS yang terinfeksi Covid-19 tetap melakukan tugasnya dengan dalih tidak ada pengganti.

Yang jadi sorotan lainnya adalah banyaknya informasi di media sosial mengenai olok-olokan PILKADA 2020 ini, mulai dari golpul masal hingga kertas suara yang diperlakukan tidak semestinya. Memang ini terlihat kocak bahkan lucu. Effort yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Anda harus cetak foto, bawa lem, kemudian menempelnya. Gila memang idenya tapi mungkin ini ide kebanyakan orang yang golput diluar sana. Daripada kertas saya dicoblos orang mending kertasnya saya modifikasi.

Ini terjadi karena masyarakat menilai bahwa pilkada hanya mainan serta sebuah hal yang tidak terlalu urgent untuk dilakukan. Serta hilangnya kepercayaan masyarakat akan calon pemimpin yang muncul pada kertas suara atas janji dan semua tek-tek-bengek yang diutarakan pada visi dan misi masing-masing pasangan calon. Pemilih generasi muda juga ikut ambil bagian dalam hal ini yang menyebabkan munculnya ide-ide kreatif dalam golput.

Bagi saya ini adalah tamparan keras bagi Komisi Pemilihan Umum karena sekarang level golput sudah lebih kreatif dibandingkan level pemilihan suara. Banyak yang harus dibenahi, mulai dari kepatuhan serta kondisi lapangan yang tidak memungkinkan. Jika kita bekerja katanya kita cukup pakai masker dan cek suhu tubuh, kenapa ke TPS (tempat pemungutan suara) kita harus cuci tangan, pakai masker, sarung tangan, cek suhu tubuh, dan jaga jarak. Padahal urgensi dalam bekerja itu lebih tinggi dan durasinya lebih lama. Tapi protokol kesehatan yang diterapkan dilapangan nol besar. Kita masih berkerumun di lampu merah, saling mendorong di stasiun depok, dan tak pakai masker di kopi sejiwa. 

Para pemilih menjadikan pilkada ini sebagai "mainan" dan ekspresi diri karena sudah rendahnya tingkat kepercayaan. Serta membandingkan perlakukan kepada si A dan kepada si B. Tapi terlampau istimewa bagi si C.

Jika sudah menjadi mainan seperti ini apa yang harus dilakukan ? Jangan tanya saya, saya juga gak tahu jawabannya. Saya cuma pekerja biasa yang kebetulan suka buka internet.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline