Lihat ke Halaman Asli

Marga Terakhir

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mengapa dengan diriku? Ah, sepertinya perkataan iblis itu kuat merasuki aku. Berjumpa dengannya hanya menimbulkan kegelisahan tak berujung. Semua kacau balau, kini aku sudah cukup lelah. Sedikit istirahat mungkin dapat membantuku keluar dari keletihanku. Aku sejenak melepas lelah di bawah pohon rindang. Namun hatiku memanggil-manggil namaku. Sepertinya hatiku ingin mengatakan sesuatu padaku mengenai iblis itu. Kemudian aku pun mencelupkan pikiranku kedalam nurani. Sedangkan hatiku menenggelamkan perasaanku pada logikaku. Kini aku berbaur dengan aku. Kurasa inilah yang dinamakan melamun. Aku kini tengah dihadapkan dengan diriku sendiri. Inilah saat bagiku berbicara dan mendengarkan nasihatnya.

Wahai jiwa yang merindukan cahaya terkabul akan hadirnya sinar terang bintang kehidupan. Meski sisi gelap akan selalu muncul selayaknya bayangan yang berbentuk. Aku dan kamu masih memahami saat-saat indah masa lalu yang terekam untuk kenangan nanti. Meski begitu, aku mengalami begitu banyak hal dan tak satupun menjadi kehidupan bagimu. Mungkin itulah satu yang belum aku mengerti.

Pernah aku buatkan satu tulisan berkisah mengenai pemuda yang tidak membuntuti arus hidup dunia. Sikap melawan jaman diperlihatkannya dengan kisah tiada diketahui dimana ujungnya. Dia tiada menampakkan keberanian namun dia pula bukanlah sosok penakut.

Lebih dari seribu hari aku mengenalmu, dan kamu merasa mengenalku. Konon kebenaran hari ini belum tentu kebenaran hari esok. Cukup sudah, pandanganmu telah memperlihatkan dua arah pada persimpangan jalan.

Aku berpikir ini sudah berbeda. Keseimbangan mungkin hal tersulit untuk selalu terbina, baik oleh aku maupun kamu.
Bisakah aku menjadi lilin yang mencair untuk memberi sinarku kepada yang lain? Aku sungguh ingin, harapku tegas. Selepas darah panasku mengalir deras, ternyata itu hanya segelintir semu. Kembali di balik keadaan lalu perlihatkan padaku sebuah gambaran. Umur sudah terhitung mulai berakhir menyusut. Aku melihatmu bagai tunas bambu tumbuh dari pohon cemara.

Dari sisi yang lain, tolong pahami aku, untuk memahami kamu yang nanti mengerti aku yang juga mengerti kamu. Janganlah kamu mendikte aku tanpa kamu harus bercermin mengenai sebuah kenyataan sesungguhnya. Kamu, sangatlah kuat dengan topeng ukiranmu. Dan harus kita sadari, benarkah yang kita harapkan saat ini. Tentang semua yang kita lakukan. Tentu masing-masing dari kita sadar akan niat itu.

Akulah darah yang berbeda, mengaku sama diantara kalian atau mereka. Sapaan tulus dari raja untuk raja, selayaknya kita semua nyata sebagai pemimpin hidup di dunia. Aku bukanlah yang terakhir sebagaimana aku pula bukan yang pertama. Namun keutamaan itu ada pada hati.

Dewa yang kamu sembah tidak menjaminmu menjadi cinta sempurna. Ibadah riya milikmu pun tiada berarti ketika hitam adalah putih bagimu dan putih adalah hitam bagimu. Aku ini apa adanya.

Dan aku bukanlah marga yang akan punah. Marga terakhir tidak melekat padaku. Hanya saja diruang itu, waktu akan mengungkapkan segala misteri tersembunyi. Dan perubahan itu sangat dekat masanya. Dalam sebuah renungan mata uang menggunting lidah kemudian mendiamkan kita. Sungguh aku menyesal, bila makna tiada sampai kedalam hati-hati yang penuh tanda tanya.

Aku tinggalkan pesan sebagai ucapan rasa bersalahku kepada semua yang menyimpulkan aku dalam cerita yang selalu berbeda. Wahai kerabat, dengarlah kabar gembira dariku. Aku kini akan menghilang dari kenyataan bersamamu. Namun perlu diketahui olehmu, menghilang tak berarti lenyap. Bersamaan dengan marga yang melekat pada garis keturunan ini, aku berjanji akan kembali pada suatu waktu. Di mana aku akan merubah kemelut dan ketidakwarasan jaman, kembali pada jalan lurus.

Setelah itu aku kembali tersadar. Kini akalku telah kembali pada tempatnya. Hatiku juga telah menetap di tempat semestinya. Telah aku dapatkan sebuah jawaban tunggal untuk melanjutkan kisah tertunda. Hatiku menegarkan apa yang telah aku pikirkan dengan sangat matang. Aku tinggalkan lamunan dan kembali bugar mempersiapkan tekad bulat untuk jalan yang panjang. Percayalah, aku pergi untuk pulang. Sampai jumpa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline