Lihat ke Halaman Asli

handrini

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

Gembeng

Diperbarui: 13 Desember 2016   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gembeng. Mendadak satu kata itu terlintas di ingatan saya.  Gegara seorang pria yang dulu pemaki mendadak menumpahkan air matanya di depan majelis sidang. Tapi tunggu, jangan buru-buru nge-bully ya. Saya tidak ada urusan dengan air mata itu. Saya hanya terkenang dengan filosofi "Ojo Gembeng" yang ditanamkan Papi saya.

Saat saya kecil.. berlari-lari terjatuh, selalu teringat petuah Papi (:sekarang sudah Almarhum) "Dadi bocah ojo gembeng," (:jadi anak jangan mudah menangis. Petuah itulah yang menyebabkan saya mampu menahan tangis ketika terjatuh. "Salah kamu sendiri kan.. lari-larian.." seloroh Papi waktu itu mengoda. 

Saya pun tanpa sadar mengulas senyum dan sakit itu pun meski terasa tetapi air mata saya mampu tertahan. Padahal di tempurung lutut saya menancam kaleng kornet yang terbuka. Kebetulan kami sedang bersiap akan pindah rumah, jadi saat itu makan hanya diatas tikar. Karena saya lari-larian, tak sengaja tersandung tikar dan jatuh dengan lutut tepat menancap pada kaleng kornet. Sakit banget. Tapi seloroh Papi "Dadi bocah ojo gembeng" membuat saya tersenyum pias.

Ojo gembeng. Filosofi itulah yang ditanamkan Papi semenjak kecil. Berbeda dengan bocah perempuan lainnya, yang mengunakan senjata "tangisan" agar keinginannya dipenuhi, saya justru dibesarkan sebaliknya. Senjata tangisan untuk mendapatkan simpati, sangat dihindari dalam tradisi keluarga kami. Terlebih jika kita apes karena kelakuan kita sendiri, seperti saya terjatuh gara-gara lari-larian - meskipun darah mengucur dari lutut (:yang masih berbekas hingga sekarang) tetap saja pesan "Ojo Gembeng" itu ditekankan Papi. Menjadi pemilik jiwa ksatria memang tidak mudah. 

Hal yang kecil yang harus saya rasakan saat kecil saja misalnya, harus menahan rasa sakit karena malu hati sendiri - terjatuh gara-gara kelakuan sendiri yang berlari-larian di dalam rumah. Mendadak saya bersyukur, karena Papi (almarhum) mengenalkan saya dan mengajarkan kepada saya kepada filosofi jawa "ojo gembeng".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline