Lihat ke Halaman Asli

handrini

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

Sumpah Pemuda dan Revolusi Mental

Diperbarui: 28 Oktober 2015   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumpah pemuda dan revolusi mental adalah dua hal yang mengusik pemikiran saya pada hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2015 ini. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sumpah pemuda tahun-tahun lalu yang terpikirkan dibenak saya hanyalah bagaimana pemuda semangat dalam membangun bangsanya sebagai wujud dari sumpahnya berbangsa satu bangsa Indonesia.

Dicanangkannya revolusi mental membuat saya tersadar – masalah mental – adalah masalah terbesar yang harus diwaspadai oleh generasi muda saat ini.

Sebab tantangan terbesar dari generasi muda bukanlah penjajah – seperti yang harus dihadapi oleh generasi muda di era tahun 1928 – yaitu era dimana sumpah pemuda tersebut diikrarkan.

Musuh terbesar penjajah jauh lebih nyata sehingga kewaspadaan dan sikap generasi muda jelas lebih dapat ditentukan bersama.

Namun saat ini musuh terbesar generasi muda itu adalah dirinya sendiri – yaitu mental. Pertanyaannya kemudian, masihkah kita bertumpah darah satu, tumpah darah Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia?

Disadari atau tidak – primodialisme atau sikap bangga akan kedaerahan masing-masing telah mencengkram generasi muda saat ini. Alih-alih merasa bertumpahdarah satu atau berbangsasatu bangsa Indonesia–– hanya karena berbedaan sekolah – generasi muda sanggup menghabisi nyawa yang lainnya dalam tawuran antar pelajar.

Berbahasa satu bahasa Indonesia? Hehe tidak lagi. Pengunaan bahasa Indonesia pun sudah bergeser. Di media sosial maupun dalam aktivitas keseharian, pengunaan bahasa Indonesia oleh generasi muda sangat mencemaskan. Bahasa slang berkembang begitu pesat.

Pudarnya kesadaran akan tiga hal yang pernah diikrarkan oleh generasi muda pada era 1928 itu bermuara pada satu hal mental generasi muda.

Generasi muda di tahun 1928 harus diakui merupakan pengerak roda perjuangan yang menyatukan seluruh elemen kebangsaan. Pun demikian halnya reformasi 1998 yang bergulir pasca kerusuhan yang menyadarkan kembali generasi muda untuk bangkit dan bersatu – memperjuangkan nasib bangsanya dari keterpurukan hingga akhirnya lahirlah tonggak baru sejarah Indonesia yang bernama reformasi.

Saat ini??

Cukupkah pemuda – sebagian, sebagian saja – yang berkiprah dan berjuang mengharumkan nama bangsa melalui berbagai event yang ada? Ataukan segelintir saja yang berinovasi dan berkreasi hingga mampu menciptakan penemuan-penemuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Sementara mayoritas generasi muda lainnya berada dalam suatu kondisi yang memprihatinkan. Jangankan menyadari keberadaannya sebagai pengerak utama kehidupan bangsa, mereka justru terpuruk dalam berbagai permasalahan pribadinya yang membuat mereka seolah tiada memiliki daya apa-apa. Narkoba, seks bebas, cengkraman sajian-sajian televisi yang menyesatkan ditambah minimnya kesungguhan pemimpin bangsa – sebagai orang tua bangsa - untuk segera bergerak cepat membantu berbagai permasalahan yang dihadapi sebagian generasi muda kita – membuat kita sebagai bangsa harus benar-benar membulatkan tekad untuk berbuat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline