Lihat ke Halaman Asli

handrini

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

Tidak Semua Penyakit Bisa Pakai BPJS

Diperbarui: 4 April 2017   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak semua penyakit pengobatannya bisa pakai BPJS. Jika pun bisa, harus siap-siap kesabaran ekstra untuk mengunakannya. Setidaknya itulah yang saya rasakan setelah mencoba mengunakan fasilitas BPJS di Jakarta. Entah bila di Surabaya, karena kemarin setelah selama seminggu menelusuri sistem administrasi berbagai pelayanan publik di Surabaya termasuk kesehatan saya sempat terkagum-kagum karena ada sistem e-health yang berfungsi untuk pendaftaran online di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan termasuk jika kita mengunakan fasilitas BPJS.

Kisah ringkasnya kurang lebih dimulai ketika Agustus 2014, saya datang sendiri ke RS Harapan Kita dan memeriksakan kesehatan dengan biaya sendiri mulai dari dokter hingga laboratoriumnya. Singkat kata dari hasil laboratorium diketahui saya CA-125 melampaui ambang batas maksimal 35 yaitu 39,9 dengan diagnosa ada kista endometriosis ovarium dengan besar sudah mencapai 6,4 cm. Pengobatan selanjutnya saya mencoba memakai fasilitas BPJS.

Karena saya telah menjadi peserta Askes maka secara otomatis saya menjadi peserta BPJS. Dimulai dari mengurus surat dari BPJS ke fasilitas kesehatan pertama yaitu Puskesmas kemudian dari Puskesmas ke Rumah Sakit type B yaitu RS Pelni.

Proses di RS Pelni tidak terlalu berbelit-belit meski harus sabar mengantri tapi cukup dengan mendaftar dan menyertakan surat rujukan dari Puskesmas bisa langsung diperiksa oleh dokter dan diarahkan kepada dokter yang memang memiliki bidang spesialisasi penangganan sesuai dengan penyakit yang diderita.

Perkembangan selanjutnya pertengahan Desember 2014 diluar dugaan saya hamil (diluar dugaan karena berdasarkan penjelasan dokter RS Harapan Kita sulit kemungkinan bagi saya untuk hamil). Namun pada 6 Februari 2015 saya mengalami pendarahan dan detak jantung janin dinyatakan sudah berhenti. Dokter RS Pelni kemudian memberikan rujukan ke RS Harapan Kita dengan harapan di RS Harapan Kita yang memiliki sarana kesehatan lebih baik dapat dilihat lebih seksama.

11 Februari 2015 saya diperiksa di Klinik Flamboyan. Karena memakai fasilitas BPJS di awal pihak RS Harapan Kita sudah menjelaskan jika kita tidak bisa memilih dokter. Ok, tidak masalah. Karena menurut Dokter RS Pelni yang baik, beliau merujukkan ke RS Harapan Kita karena USG Harapan Kita yang diibaratkan seperti mercy dan RS Pelni baru seperti Toyota. Pada saat itu kondisi saya telah mengalami pendarahan hebat. Dokter di Klinik Flamboyan menyatakan saya mengalami abortus incomplete dan langsung mengambil tindakan kuretase tajam. Semua dengan fasilitas BPJS dan karena suami yang mengurus jadi saya tidak terlalu paham. Namun singkat kata suami bercerita pihak suster dan administrasi sangat baik membantu misalnya menyusul waktu di counter BPJS dan lainnya.

Pasca kuretase dan dirawat, saya kontrol karena masih ada pendarahan yang cukup banyak. Barulah terasa “rasa BPJS” yang kerap saya dengar sebelumnya. Sebelum mendaftar saya berusaha mempersiapkan berbagai persyaratan yang kira-kira bakal dibutuhkan karena fasilitas fotocopi di RS Harapan Kita hanya 2 dan terkadang salah satunya tutup untuk istirahat dan tentu antrian fotokopinya cukup panjang.Singkat kata dari pendaftaran ada berkas yang diberi yang harus difotokopi kemudian balik lagi ke counter pendaftaran berikutnya dan diberikan surat untuk ke Klinik Flamboyan.

Karenapendarahan yang saya alami masih cukup banyak maka dokter Klinik Flamboyan memutuskan untuk perintah USG dan fasilitas USG tersebut ada di Klinik Anyelir. Dokter menjelaskan saya tinggal USG langsung ke Klinik Anyelir pada hari berikutnya.

Namun pada hari berikutnya saya ke Klinik Anyelir diminta melakukan pendaftaran ulang. Kemudian dari pendaftaran harus menyertakan fotokopi surat pendaftaran pertama yang tentunya sudah saya pergunakan untuk mengambil obat misoprostol untuk membersihkan jaringan yang tersisa pasca kuretase. Jadilah saya ke administrasi farmasi untuk meminjam surat tersebut di fotokopi (yang berarti antri fotokopi , belajar dari pengalaman tersebut diusahakan berkas administrasi berobat tetap tersisa) kemudian ke pendaftaran, ke BPJS kemudian ke Klinik Flamboyan diberikan surat ke Klinik Anyelir dari klinik Anyelir diminta ke pendaftaran lagi ke BPJS fotokopi dan lagi dan ke Klinik Anyelir. Usai di USG karena saya adalah pasien BPJS maka konsultasi tetap di Klinik Flamboyan. Barulah saya kembali ke Farmasidan ke pendaftaran untuk mengambil kartu BPJS yang ditahan baru pulang. Jangan dibayangkan ya bolak baliknya terlebih pada saat itu suami saya tidak bisa ijin dari pekerjaannya. Jadilah selaku pasien dan kondisi saya masih pendarahan serta lemas karena tekanan darah rendah saya harus bolak balik. Maklum grastis hihi.. *menghibur diri. Alhamdulillah hasilnya tidak ada jaringan sisa. Pada saat kuretase memang agak sulit karena ada kista dengan ukuran cukup besar 6,4 cm tersebut dan ada ademiosis.

2 Maret 2015 saya kembali periksa karena pendarahan masih terjadi dan cukup banyak. Saya mengunakan surat rujukan dari Puskesmas untuk RS Pelni yang masih berlaku. Di RS Pelni, sayangnya karena pasien dokter yang baik itu terlampau banyak, saya sebagai tiga pasien terakhir maka harus rela ditangani oleh dokter yang tidak menerima BPJS. Jadilah hari itu saya harus merogoh kocek Rp. 285.000 (separuh dari biaya periksa). Tidak hanya saya, dua pasien BPJS lainnya juga. Untuk mengetahui tingkat keganasan kista, maka dokter kembali meminta untuk periksa laboratorium. Karena kista memang bisa berubah menjadi kanker.

19 Maret 2015 masih terjadi pendarahan. Setelah ke puskesmas dan diberi rujukan ke RS Harapan Kita. Namun di RS Harapan Kita menyatakan tidak bisa menerima rujukan tersebut jadi saya harus ke RS Pelni. Kemudian saya menunjukkan surat dari dokter ke laboratorium. BPJS menyatakan tes lab tersebut (CA-125 dan AMH) tidak bisa dicover BPJS. Saya langsung ke laboratorium dan mendapat penjelasan yang sama tidak bisa memakai BPJS. Namun saya terkejut ketika struk yang harus saya bayar menunjukkan penjelasan bahwa saya adalah pasien JKN, BPJS. Saya komplain karena saya harus membayar sendiri Rp. 1.139.000,00.

Begitulah tidak semua sakit dapat dicover dengan BPJS. Untuk tindakan preventif misalnya untuk memantau perkembangan kista yang dikhawatirkan mengarah pada kanker ternyata tidak bisa dicover dengan BPJS. Di RS Dharmais sendiri saya sempat berobat dengan biaya sendiri karena mendapatkan penjelasn bahwa untuk mengunakan fasilitas BPJS harus benar-benar penderita kanker yang sudah stadium lanjut.

Saya mencoba cek prosedur pengunaan fasilitas BPJS baik alur maupun mekanismenya di setiap rumah sakit karena bayangan saya bisa jadi pembedaan tersebut karena berdasarkan type rumah sakitnya tapi ternyata di website resmi BPJS http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/ tidak ada. Sebagai pembayar iuran BPJS yang wajib karena langsung dipotong dari uang gaji tentunya saya berharap BPJS benar-benar memperhatikan ketersediaan informasi resmi tentang prosedur/mekanisme dan persyaratan serta layanan kesehatan apa saja yang dapat digunakan dengan fasilitas BPJS sehingga memudahkan anggota BPJS yang sudah dengan setia membayar sebelum dilaksanakannya rencana kenaikan iuran BPJS.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline