Saat melangsungkan pernikahan biasanya gak ada yang ngeh masalah harta. Pasangan yang melakukan ijab kabul mabuk dengan rasa cinta kasih. Dan lagi memang belum punya harta, masih bokek. Apalagi secara teori, pernikahan merupakan peristiwa sakral demi Tuhan Yang Maha Esa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Tabu rasanya mencampuri peristiwa sakral dengan membicarakan harta. Tunggu beberapa tahun kemudian setelah masa "bulan madu" berakhir, mungkin akan berbeda.
Bertolak belakang keadaannya perkawinan keluarga kaya, baik salah satu pasangannya kaya maupun kedua mempelai dari keluarga kaya. Lumrahnya terjadi pada masyarakat "educated" perkotaan yang bergelimang kekayaan. Mereka lebih "concern" masalah harta, karena memang punya banyak harta. Malah mereka menyewa "konsultan hukum" sebelum menikah. Konsultan hukum bukan untuk memberikan nasehat perkawinan, tapi bertugas memberikan "legal opini" dan "legal action".
Pekerjaan konsultan hukum yang disewa antara lain membuat serta memastikan keabsahan "Perjanjian Perkawinan". Perjanjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan atau pada waktu perkawinan (pre-nuptial agreement) mengatur tentang pemisahan harta dalam perkawinan. Artinya harta lu tetap harta lu, harta gue juga tetap jadi harta gue, walau kita sudah menikah. Wow, ini kabar buruk buat Sis dan Bro yang matre, yang punya niat memburu harta karun dengan mengawini orang kaya. Siap2 saja untuk kecewa.
Pernikahan dengan Perjanjian Perkawinan tidak akan ada harta bersama dan tidak akan ada percampuran harta selama perkawinan. Apabila dalam perkawinan tersebut ternyata salah satu pasangan beruntung "bersinar" bisnisnya dan menjadi kaya raya, tidak otomatis pasangannya juga ikut memiliki kekayaan tersebut. Apabila terjadi perceraian pada saat itu, maka pasangan yang tidak beruntung tidak akan dapat apa2 dari harta mantan. Kecuali apabila pasangannya meninggal, lumayan, karena akan memperoleh warisan.
Harta Bawaan.
Berdasarkan Pasal 35 (2) UU Perkawinan, dikenal dengan Harta Bawaan. Harta bawaan meliputi harta yang dipunyai oleh masing2 pasangan pada waktu memasuki gerbang perkawinan. Beberapa orang pada waktu menikah sudah kaya, sehingga waktu menikah dia membawa harta yang banyak bersamanya. Harta yang mereka miliki sebelum menikah dan hadiah atau warisan yang diperoleh selama perkawinan, termasuk dalam harta bawaan.
Bisa saja salah satu pihak dapat hadiah, misal hadiah undian suatu produk berupa rumah atau hadiah hole in one dalam permainan golf berupa mobil mewah. Atau bisa juga salah satu pihak dapat warisan mendadak yang jumlahnya menggiurkan dari kerabat yang tidak diduga sebelumnya. Semua harta bawaan ini selama dalam perkawinan tidak terganggu kepemilikannya. Penguasaannya tetap pada masing2 pihak dan tidak akan tercampur dengan harta pihak lain.
Harta Bersama.
Akibat dari perkawinan (kecuali ada Perjanjian Perkawinan) selain menyatukan pasangan beda jenis (Indonesia tidak mengakui pasangan sejenis) juga menyatukan harta yang mereka peroleh selama perkawinan. Kondisi percampuran harta ini tidak bisa dirubah lagi selama dalam masa perkawinan. Penekanannya disini adalah harta selama dalam perkawinan, tidak dipermasalahkan siapa yang mencari dan mendapat harta itu, bisa pihak wanita, bisa pihak laki2.
Jadi semua harta yang diperoleh dari siapapun (baik karena istri bekerja maupun sebaliknya atau kedua2nya bekerja) selama dalam perkawinan, statusnya akan jadi Harta Bersama dikenal juga sebagai Harta Gono Gini (Pasal 35 (1) UU Perkawinan).
Konsekwensinya menjadi Harta Bersama, pasangan suami istri tidak bisa bertindak secara hukum sendiri2 atas harta tersebut Pasal 36 (1) UU Perkawinan. Kalau pihak istri mau menjual harta tersebut harus dapat persetujuan pihak suami, begitu juga sebaliknya. Apabila terjadi perceraian, Harta Bersama harus dibagi dua sama rata, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Selama cinta masih ada, keluargapun rukun tentram, masalah harta ini tidak akan pernah dimasalahkan. Namun bila keharmonisan sudah mulai memudar, rasa saling percaya menipis atau perkawinan diambang perceraian, akan mulai ada pikiran tentang harta yang ada dalam perkawinan. Keadaan yang selama ini tidak pernah terpikirkan, misal yang bekerja pihak wanita dan yang laki2 pengangguran saja, mulai terasa tidak "adil". Bisik2 dari orang yang bilang jadi "sapi perah" yang selama ini dicuekin, mulai terasa mengganggu pikiran.
Apalagi ada rasa curiga bahwa pasangan punya pacar. Rasanya ngilu memikirkan harta hasil kerja tangan sendiri dipakai selingkuh oleh pasangan. Memikirkan perceraian rasanya lebih mengerikan lagi (terlepas dari perkawinan ada anak). Enak banget rasanya bagi dia tanpa susah payah memperoleh separo dari harta yang dikumpulkan.