Menurut sumber yang saya baca, burung unta sebenarnya tidak menyembunyikan kepalanya di dalam pasir saat ada musuh yang mengancam. Meskipun demikian, gambaran burung unta dengan kepalanya terkubur di bawah pasir sudah menjadi sebuah simbolisme, mewakili sebuah perilaku yang menipu diri sendiri dan menolak melihat kenyataan saat masalah datang, ketimbang menghadapi dan menyelesaikannya.
Mural tidak muncul tanpa alasan. Pesan, kritik, bahkan kenyinyiran yang tersirat dan tersurat dalam mural, tidak muncul begitu saja.
Mural hanyalah sebuah bentuk ekspresi, sama seperti seseorang membuat lagu, cerita, puisi dan bentuk-bentuk ekspresi seni lainnya. Ketika seniman mural merasa bahagia, gambar mural yang indah dan gembira akan hadir di sana. Demikian pula adalah wajar, bahwa ketika si seniman merasa galau, marah, dan kecewa, yang tampil adalah sebuah sindiran, nyinyiran di dinding.
Bukan berarti bahwa kritikan yang tersirat di atas lukisan itu sudah pasti benar. Akan tetapi perlu dipahami, bahwa ada gejolak yang diekspresikan di sana.
Jangan muralnya yang dihapus. Jangan senimannya ditangkap. Tapi cari kenapa bisa muncul mural demikian. Kekecewaan apa yang menggerakkan munculnya mural itu? Kesalah pahaman apa yang terjadi antara pemerintah dan rakyatnya?
Ketika cerminnya yang dibelah, sementara coretan di muka tidak dihapus. Memang tidak terlihat lagi di cermin yang sama, karena cerminnya sudah dipecahkan. Tapi setiap kali melewati kaca, setiap kali melewati genangan air, setiap kali ada media yang memantulkan bayangan, setiap kali itu pula coretan di wajah itu kembali terlihat.
Jangan sampai, akhirnya kemudian karena putus asa, malah mata yang melihat yang ditutup rapat supaya tidak melihat.
Sekali lagi, tidak berarti yang tergambar di mural itu benar. Akan tetapi menurut hemat saya, alangkah lebih baik, bila diselidiki lebih dalam, diadakan dialog, dan dicari mengapa sampai muncul mural itu?
Memang tidak mudah, tapi memegang kekuasaan memang tidak pernah mudah.
Dalam filosofi konfusianisme, hubungan antara penguasa dengan rakyatnya itu seperti hubungan seorang ayah dengan anak-anaknya. Anak-anak seyognyanya menghormati ayahnya, sementara sang ayah seharusnya bisa mengayomi anak-anaknya.