Lihat ke Halaman Asli

Akhir Hikayat Ondel-Ondel

Diperbarui: 3 Juli 2020   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : Muhammad

Febrian Rachmadi | Dreamstime.com

Kota Jakarta itu kota budaya. Kalau engga percaya coba sebutkan kota mana selain Jakarta yang "Ikon Kota" nya berkeliling agar membuat dirinya tetap eksis.

Pada masa awal kemunculan Ondel-Ondel keliling tidak menjadi masalah bagi banyak orang. Justru kebanyakan warga jakarta akan bersyukur karena masih ada sekelompok orang yang masih mau melestarikan budaya betawi. Setiap kali ada Ondel-Ondel keliling yang datang ke kampung-kampung, warga lokal mulai dari anak kecil sampai yang sudah sepuh pasti berkerumun menonton hiburan rakyat tersebut. Menonton Ondel-Ondel Keliling kala itu bagi sebagian warga Jakarta adalah cara mereka mengobati kerinduan. Kerinduan akan  kejayaan budaya betawi, sebelum akhirnya digusur oleh arus moderenisasi ibu kota. Bagi penonton muda, melihat Ondel-Ondel adalah hal baru dan pengetahuan baru bagi mereka. Maklum saja, jika pada masa kejayaannya dulu saja Ondel-Ondel sudah sulit ditemui karena hanya ada pada acara tertentu apalagi sekarang yang notabene Ondel-Ondel dianggap kuno dan tidak elit. Kisah manis Ondel-Ondel keliling pada awal kemunculannya, kini rasa manisnya sudah mulai hilang berganti rasa pahit cemoohan orang dan stigma buruk.

Seperti kata sebuah peribahasa ada gula ada semut. Peribahasa itu rasanya cocok disematkan pada kisahnya Ondel-Ondel keliling. Ondel-Ondel Keliling kala itu mejadi komoditi hiburan masyarakat jakarta. Banyak sekali peminatnya sehingga mulai banyak juga yang menjadikan Ondel-Ondel Keliling sebagai sumber penghasilan mereka. Mungkin ketika dulu melihat Ondel-Ondel Keliling dalam rentang waktu seminggu hanya melihat sekali. Sekarang dalam sehari bisa kita temui 3-4 kali Ondel-Ondel Keliling yang berbeda. Bahkan pernah penulis bertemu 6 kali Ondel-Ondel Keliling yang berbeda dalam sehari, itu pun sebatas di wilayah kelurahan penulis saja. Sebenarnnya sah-sah saja menjadikan Ondel-Ondel Keliling sebagai mata pencaharian mereka selama tetap bisa menjaga pakem-pakem tradisi betawi. Namun tentu saja fenomena marakya Ondel-Ondel ini membawa pragmatisme dalam mencari uang dan membuat lupa aspek budaya. Banyak para oknum Ondel-Ondel keliling beraksi secara asal-asalan keluar dari pakem aslinya. Sebut saja jika, dulu kita melihat para personil Ondel-Ondel Keliling berpakai adat betawi rapi lengkap dengan peci merah dan alat musik gambang kromong sungguhan. Kini yang kita temui sehari-hari para oknum yang mengenakan pakaian seadanya, syukur-syukur kalau mereka engga nyeker. Kemudian Alat musik gambang kromong sungguhan diganti dengan kaset, berpositif thinking saja siapa tau mereka hanya  tidak mampu membelinya bukan karena mereka tidak bisa memainkannya. Miris memang namu begitu kenyataannya, kini sudah ada pergeseran makna budaya Ondel-Ondel.

Sebenarnya pergesaran budaya Ondel-Ondel ini bukanlah yang pertama kali. Jika melihat penelitian Sinta Paramita (2018) yang berjudul "Pergeseran Makna Budaya Ondel-Ondel pada masyarakat Betawi modern". Ondel-Ondel awalnya dianggap sebagai boneka betawi yang skaral dan digunakan dalam upacara penolak bala. Sehingga tidak heran pada zaman dahulu Ondel-Ondel dipentaskan pada acara spesial seperti khitanan, lamaran dan nikahan tujuannya agar dijauhkan dari bala atau kesialan. Seiring berjalannya waktu ketika para seniman Ondel-Ondel mulai berkurang dan minat terhadap pentas Ondel-Ondel turun karena dianggap kuno makna Budaya Ondel-Ondel mulai bergeser. Jika dulu Ondel-Ondel dipentaskan, namun kini Ondel-Ondel tak ubahnya seonggok pajangan di acara khitanan atau nikahan. Ondel-Ondel digunakan sebagai alat identifikasi jika si yang punya hajat adalah orang betawi. Ketika budaya Ondel-Ondel sudah mulai dilupakan dan terancam punah barulah pemerintah turun tangan, misalnya dengan menerbitkan PERDA NO 4 Tahun 2015 tetang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Pemerintah berharap dengan adanya payung hukum tersebut dapat memberikan angin segar dan menunjukan sebenarnya pemerintah daerah serius dalam upaya melestarikan budaya betawi. Pemerintah mulai menjadikan Ondel-Ondel sebagai alat promosi untu meningkat ketertarikan pada budaya betaei melalui pendekatan sebagai alat hiburan. Pada tahap ini sekali lagi makna Ondel- Ondel berubah menjadi alat hiburan dan promosi budaya betawi sehingga bermunculanlah Ondel-Ondel Keliling. Namun pergesaran makna ini bukan lah yang terkahir, lagi lagi Ondel-Ondel berubah makna menjadi sumber mata pencaharian.

Sebuah perubahan tentu saja memiliki konsekuensi. Namun konsekuensi itu bisa positif maupun negatif. Sisi positifnya Ondel-Ondel akan selalu eksis dan bisa menjadi sumber penghidupan, tapi dampak negatifnya jauh lebih besar. Sebut saja contoh paling nyata, karena Ondel-Ondel Keliling dilakukan secara ugal-ugalan mereka menyebabkan kemacetan. Bahkan lebih berbahayanya lagi ketika orang yang di dalam Ondel-Ondel tanpa sadar menari-nari hingga ke tengah jalan yang sedang ramai kendaraan berlalu lalang. Tidak hanya membahayakan diri orang yang ada di dalam Ondel-Ondel tapi juga para pengendara. Contoh lain sisi gelap Ondel-Ondel keliling, sadar atau tidak sadar banyak anak-anak hingga remaja yang dibawah umur yang dimanfaatkan menjadi personil arak-arakan. Memang bagus ketika anak-anak dan remaja diberdayakan dalam pelestarian budaya. Namun pemeberdayaan sejatinya dibarengi dengan pengawasan dan pembinaan. Jangan sampai ada oknum yang memanfaatkan mereka untung keuntungan pribadi dan malah menjadi eksploitasi terselubung.

Pemerintah Daerah sekali lagi perlu turun tangan untuk mengatasi efek buruk yang timbul dari Ondel-Ondel Keliling yang ugal-ugalan sekaligus memberikan jaminan agar Ondel-Ondel yang kita cintai tetap ada. Mungkin yang perlu dilakukan pertama kali yaitu merevisi PERDA NO 4 Tahun 2015 tetang Pelestarian Kebudayaan Betawi untuk memberikan batasan yang boleh dilakukan upaya pelestarian budaya dan memberikan perlidungan bagi mereka yang ingin berkontribusi dalam pelestarian budaya betawi. Tidak boleh berhenti sampai di situ tapi Pemerintah Daerah perlu secara aktif melakukan pemberdayaan pada seniman betawi baik dengan cara membuat lomba-lomba kesenian betawi, menggelar pagelaran seni betawi, penghargaan dan pemberian jaminan sosial bagi seniman betawi. Ondel-Ondel hanya sebagian kecil dari kebudaya betawi yang mengalami pergerseran makna, jangan sampai Ondel-Ondel yang dahulu digunakan sebagai penolak bala kini menjadi tertolak karena dianggap sebagai bala.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline