Lihat ke Halaman Asli

Papua di Ujung Jaringan: Ketimpangan Digital dan Nasib Pendidikan Anak Negeri

Diperbarui: 1 November 2024   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis :Handi Sucipto – Mahasiswa Program Pascasarjana Komunikasi STIKOM InterStudi Jakarta

Di ujung timur Indonesia, di tanah Papua yang kaya akan budaya dan keindahan alam, ada kenyataan pahit yang menghantui ribuan anak sekolah. Mereka adalah generasi muda yang tumbuh di era digital, tetapi ironisnya, hidup mereka justru tersandera oleh keterbatasan akses teknologi. Di saat siswa-siswa di kota besar duduk nyaman dengan laptop di pangkuan dan jaringan internet berkecepatan tinggi, anak-anak Papua hanya bisa bermimpi tentang pembelajaran jarak jauh yang layak.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dalam Katadata berbicara lantang: hanya 16,7% penduduk Papua yang menikmati akses sinyal 4G. Itu berarti sebagian besar siswa Papua tidak bisa mengakses materi e-learning, sebuah kebutuhan esensial di masa kini. Bandingkan dengan DKI Jakarta, di mana 99% penduduknya terhubung dengan sinyal 4G. Apa arti dari ketimpangan ini? Artinya, harapan untuk mendapatkan pendidikan yang setara, yang diimpikan oleh setiap anak Papua, terkikis setiap harinya.

Tapi kisah ini bukan sekadar statistik. Bayangkan seorang siswa bernama Markus, tinggal di sebuah desa terpencil di Papua. Setiap pagi, ia berjalan sejauh lima kilometer ke puncak bukit demi menangkap sedikit sinyal untuk mengunduh materi pelajaran. Seringkali, Markus pulang dengan tangan hampa karena sinyal tidak kunjung datang. Baginya, teknologi bukanlah jendela ilmu seperti yang dirasakan oleh teman-temannya di kota besar, melainkan tembok besar yang menghalangi mimpinya.

Berdasarkan data BPS yang dikutip oleh Katadata pada tahun 2023, Papua mencatat rasio penduduk dengan akses internet hanya 26,3%, sangat jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 63,9%. Indeks infrastruktur dan ekosistem digital pun hanya mencapai angka 28,64, kontras dengan DKI Jakarta yang mencapai 54,45. Angka-angka ini bukan sekadar perhitungan di atas kertas; mereka menceritakan sebuah realitas: Papua tertinggal, dan dampaknya dirasakan oleh anak-anak yang seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.

Mengapa ketimpangan ini masih dibiarkan? Pembangunan infrastruktur digital seharusnya menjadi prioritas, bukan sekadar janji politik. Generasi Papua berhak mendapatkan pendidikan dan akses yang sama, bukan sekadar menjadi angka dalam laporan tahunan. Pembangunan jaringan 4G dan akses internet yang merata harus segera dipercepat, tidak hanya demi mengejar ketertinggalan statistik, tetapi untuk memberikan harapan nyata kepada Markus dan ribuan anak lain sepertinya.

Ketika kita membicarakan masa depan, kita tidak bisa meninggalkan Papua di belakang. Investasi dalam infrastruktur digital di sana adalah investasi pada masa depan Indonesia yang merata, adil, dan penuh harapan. Saatnya semua pihak, dari pemerintah hingga swasta, bersatu padu menjadikan pendidikan yang setara bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan bagi semua anak Indonesia, termasuk mereka yang ada di tanah Papua.

Sumber : /www.unicef.org/indonesia/id/laporan/analisis-situasi-pembelajaran-digital-di-indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline