"Melahirkanmu itu sakit, taruhannya nyawa! Kalau Ibu tahu kamu akan jadi nakal begini, mending Ibu ga usah melahirkan kamu sekalian!" Begitu kata Ibu saat memarahi Kamal, anak sulungnya yang susah sekali diberitahu.
Entah mengapa setiap kali Kamal tengah dimarahi, aku seolah mendapat kutukan untuk selalu berada di sana, mendengar suara bentakan Ibu, serta menatap mata Kamal yang tengah berkaca-kaca.
Aku tahu Kamal tidak semestinya dimarahi hanya karena ia menumpahkan air minum. Bagaimanapun, ia baru berumur 6 tahun. Anak sekecil itu tak seharusnya sedikit-sedikit dimarahi. Apalagi Ibu selalu menyinggung-nyinggung soal melahirkan dan melahirkan lagi.
Kamal pernah bilang kepadaku, ia sedih karena telah membuat Ibu merasakan sakit saat melahirkannya. Kalau saja ia tak dilahirkan, Ibu tentu tak perlu merasakan kesakitan seperti yang selalu Ibu katakan.
Ayah selalu tak ada ketika Kamal dimarahi. Ia hanya sempat menengok ke tempat tidur Kamal di malam hari, ketika anak sulungnya itu sudah tertidur. Lalu saat pagi, Ayah sudah keburu berangkat sebelum Kamal bangun.
Bukan sekali-dua kali aku menyaksikan Kamal terisak saat tidur. Entah apa yang dimimpikan, namun sudah pasti sangat menggelisahkan sampai membuat anak sekecil itu mendengkur, bahkan mengigau.
Hari demi hari berlarian seperti kucing yang mengejar kupu-kupu di pekarangan. Aku baru saja menghabiskan gigit terakhir roti coklat yang disisakan oleh Kamal. Cuaca di luar mendung. Beberapa kali kilatan-kilatan petir menyelinap dari balik sela-sela gorden. Namun bukan itu yang mengagetkan.
Suara bentakan Ibu terdengar nyaring memekik kuping. Pagi itu dapur sudah berserakan beling. Rupanya Kamal baru saja memecahkan piring ketika sedang mencucinya. Kakinya sendiri tak sengaja menginjak salah satu pecahannya.
Cukup besar. Cukup dalam. Ia berdarah. Sakit. Namun ia tahu, rasa sakitnya tak sesakit yang Ibu pernah alami sewaktu melahirkannya.