Lihat ke Halaman Asli

Handi Aditya

TERVERIFIKASI

Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Ketika Monopolistik UEFA Digugat Putin-nya Sepak Bola

Diperbarui: 9 Maret 2022   18:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Andrea Agnelli, salah satu inisiator Liga Super Eropa | Sumber: Kompas.com

Ketika demokrasi muncul sebagai orkestrasi yang memikat banyak orang, satu per satu model kerajaan dan kekaisaran seolah menjadi bunyi-bunyian sumbang yang pelan-pelan ditinggalkan.

Akan tetapi ada sebuah corak kemonarkian yang justru selamat dari himpitan peradaban. Ia hidup berkamuflase terhadap segala bentuk perubahan yang terjadi di era modern. Seolah-olah demokratis, padahal sebetulnya tidak. Kita semua mencium bau busuknya lewat seragam federasi sepak bola.

Di belahan bumi mana pun, organisasi yang menginduki sepak bola selalu dikoridori oleh dinding-dinding yang dirancang untuk mustahil ditembus. Tak sembarang orang bisa masuk ke dalamnya, terkecuali mereka yang memang telah sejak awal sejalan dan dipersiapkan memainkan orkestrasi yang sudah ada.

Privilese ini berlaku di seluruh dunia, baik itu dalam skala teritori negara maupun skala regional dan global. Federasi sepak bola secara terang-terangan melakukan praktek monopolistik terhadap sepak bola, tanpa bisa diganggu gugat. UEFA adalah contoh paling sempurna.

Sebagai federasi yang menaungi sepak bola di benua biru, UEFA menjadi biang keladi atas wajah sepak bola hari ini yang erat kaitannya dengan nilai-nilai materialistik. 73 persen perputaran uang dari industri sepak bola dunia, berasal dari wilayah yang menjadi yuridiksi UEFA.

Limpahan uang disertai dengan kekuasaan yang absolut, membuat UEFA menjelma sebagai monster ganas yang menghisap darah para anggota yang menyokongnya. UEFA tak hanya berwenang menciptakan sistem dan membuat regulasi, mereka juga diijinkan untuk menjalankannya.

UEFA juga berwenang melakukan pengawasan terhadap proses-proses yang mereka jalankan sendiri. Mereka juga berhak menarik sebanyak-banyaknya manfaat, dari sistem yang mereka ciptakan.

Saat pandemi mulai memukul keuangan banyak klub di Eropa pertengahan 2020 lalu, UEFA seolah menutup mata terhadap kegentingan yang terjadi. Satu per satu klub-klub berguguran, namun UEFA hanya bersikap cuci tangan dengan hanya melonggarkan jadwal, tanpa menyentuh aspek kegawat-daruratan klub yang tengah kolaps.

Banyak klub berada di ambang kematiannya, sementara UEFA tetap tak kehilangan pemasukan sama sekali. Pundi-pundi mereka bahkan disinyalir bertambah, sebab pendapatan hak siar dan biaya iklan melonjak signifikan semenjak fans dilarang datang ke stadion.

Ironi, di saat saturasi keuangan klub-klub ada pada level mengkhawatirkan. UEFA justru semakin kaya raya. Hal ini tentu membuat jengkel banyak pihak. Beberapa klub raksasa mulai memiliki kesadaran, betapa selama ini mereka cuma dijadikan sapi perah tanpa pernah benar-benar diperhatikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline