Lihat ke Halaman Asli

Handi Aditya

TERVERIFIKASI

Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Yang Fana adalah Juventus, Dybala Abadi

Diperbarui: 17 Januari 2022   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selebrasi Paulo Dybala saat menghadapi Udinese | Sumber: Kompas.com

Ketika Juventus mengalami kekalahan, kesedihannya hanya berputar-putar pada alam pikiran Juventini. Namun saat Dybala terpuruk, kesedihannya menjadi milik alam semesta.

Tiga musim adalah waktu yang cukup panjang, bagi seorang pesepak bola untuk hanya menjadi bayang-bayang pesepak bola lain yang jauh lebih populer. Dybala merasakan betul kepahitan itu, ketika Cristiano Ronaldo datang, menghisap habis sari-sari Juventus yang manis tanpa tersisa.

Dybala patut kecewa, ia datang ke Turin ketika Juventus sedang tidak baik-baik saja. Tim itu masih ringkih dan rapuh sepeninggal pelatih mereka, Antonio Conte. Namun lewat kedua kakinya, Dybala mampu membawa Juventus perlahan ke habitatnya yang paling ideal, habitat juara.

Duetnya bersama Gonzalo Higuain, secara tak terduga, menawarkan romantisme nostalgia pada duet Alessandro Del Piero dan David Trezeguet di masa lalu.

Dybala dan Higuain memang bukan yang terbaik, namun kombinasi keduanya saling melengkapi satu sama lain. Bahkan kebuntuan keduanya, selalu mampu diatasi oleh rekannya yang lain, Mario Mandzukic.

Bukan Juventus yang bersinar terang kala itu, kecemerlangan Dybala lah yang membuat Juventus tampak terang-benderang. La Joya, julukan Dybala, tak hanya berhasil menjadi ujung tombak yang mematikan, ia juga mampu menjadi pusat permainan Juventus yang dikomandoi Massimiliano Allegri.

Berkat Dybala, kreatifitas di lapangan berjalan dengan sangat baik. Skema menyerang Juventus yang pada era Conte hanya bertumpu pada satu lini, menjadi lebih cair. Juventus bisa menusuk dari kedua sayap, mereka juga bisa merangsek cepat dari tengah.

Keseimbangan tim yang menjadi kunci kolektifitas permainan, telah terjembatani dengan baik lewat kehadiran Dybala. Pergerakannya dalam merespon serangan balik lawan, juga patut menjadi teladan bagi para striker yang malas turun membantu pertahanan.

Dybala adalah fenomena anomali yang unik, wajahnya yang jauh dari kesan bengis, berbanding terbalik dengan performanya di atas lapangan. Sayang, romansa Juventus dan Dybala hanya bertahan sampai musim 2017-2018 saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline