Lihat ke Halaman Asli

Handi Aditya

TERVERIFIKASI

Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tak Cuma Nagita Slavina, Kita Semua Berpotensi Jadi Korban "Deepfake"

Diperbarui: 12 Januari 2022   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nagita Slavina, sumber: kompas.com

Terlalu sering mengekspos citra diri baik berupa foto, maupun video selfie ke media sosial, saat ini sudah kian membahayakan. Musibah teranyar menimpa Nagita Slavina, video hasil rekaan program deepfake berdurasi 61 detik yang mencitrakan dirinya beredar luas di media sosial.

Deepfake, atau lebih tepatnya Deep-learning fake, ialah sebuah teknologi berbasis kecerdasan artifisial, yang memungkinkan kita untuk mencitrakan wajah seseorang, kemudian mencupliknya dan menempatkannya pada objek lain.

Singkatnya, lewat teknologi deepfake, kita bisa mencuplik wajah kita atau wajah orang lain, kemudian menempatkannya ke tubuh orang yang berbeda.

Tak berhenti di situ, teknologi ini juga mampu memetakan setiap gerak ekspresi wajah hingga suara, sehingga kita bisa menciptakan sebuah sintesa baru antara citra diri, gerak dan suara, menjadi sebuah video yang rapih dan mulus.

Teknologi ini sebetulnya amat sangat berguna jika diterapkan dalam kepentingan industri hiburan, maupun keperluan edukasi. Sayangnya, seperti musibah yang menimpa Nagita Slavina kemarin, teknologi ini justru dipakai untuk membuat video palsu yang merugikan objek di dalamnya.

Di luar negeri, teknologi deepfake bahkan sudah dipakai dalam praktek penipuan asuransi. Pelaku penipuan dalam modusnya menggunakan deepfake untuk memanipulasi dirinya seolah-olah telah mengalami kecelakaan.

Ahli teknologi media Touradj Ebrahimi mengatakan, bahwa teknologi deepfake saat ini sudah sedemikian canggih. Kita hanya membutuhkan 3-5 menit untuk menghasilkan video melalui program ini dengan kualitas yang sangat baik. Hal ini tentu saja membuat kekhawatiran dirinya akan penyalahgunaan di masa depan.

Ebrahimi dan timnya bahkan tengah mengembangkan sebuah program detektor deepfake, yang fungsinya mendeteksi "produk kepalsuan" deepfake di masa depan.

Namun persoalannya adalah; teknologi pendeteksi deepfake ini kalah cepat perkembangannya dengan program deepfake itu sendiri. Hal ini tentu saja berpotensi membuat banyak masalah baru jika terlambat diantisipasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline