Saat kita mengetik nama "Gianluigi Buffon" di laman mesin pencari, kita akan dengan mudah menemukan kisah-kisah heroik tentang lelaki kelahiran Carrara, 42 tahun lalu ini. Dari mulai kiprahnya satu tim dengan Hernan Crespo di Parma, sampai kisahnya berbagi peran sebagai sang kapten tim bersama Alessandro Del Piero di Juventus. Semua bisa dengan mudah kita jumpai.
Akan tetapi hanya sedikit yang tahu, bahwa pesepakbola berjuluk "Superman" ini pernah sempat berpikir untuk berhenti dari dunia sepak bola di saat usianya baru menginjak 25 tahun.
Ketika itu, tak ada yang tahu, Gigi, sapaan akrabnya, mengalami sesuatu yang awalnya hanya dikira sebagai sebuah keletihan biasa.
Suatu ketika, saat ia tengah berbaring di tempat tidur, Buffon merasakan lemas yang cukup melumpuhkan pada bagian kaki. Ia ketakutan, khawatir kakinya tak lagi bisa berjalan. Kemudian di saat yang sama, kakinya mendadak bergetar, seperti sedang mengalami tremor hebat, dan ia tak mampu menghentikannya sama sekali.
Kejadian ini diungkapkannya dalam sebuah wawancara dengan The Players Tribune. Buffon bercerita bagaimana ia mengalami kepanikan luar biasa saat itu dan meminta bantuan kepada klub guna mengetahui apa yang tengah dideritanya.
Namun dari serangkaian cek medis yang dilakukan, Buffon didiagnosa tak memiliki penyakit apapun, melainkan sesuatu yang lebih mengkhawatirkan lagi: Buffon dinyatakan mengalami depresi.
Ia mengalami banyak keletihan secara psikis dalam menjalani rutinitas kesehariannya, yang kemudian membuatnya merasa "kosong" dan merasa kehilangan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu.
Di usianya saat itu, Buffon sudah meraih banyak kesuksesan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia sama sekali tak menyangka, bisa berada di level tertinggi secepat itu. Memulai karir di Parma, lalu bisa satu tim dengan sang idola, Del Piero. Sungguh capaian yang sangat fantastis.
Euforia demi euforia ia lewati. Publisitas dan ketenarannya meroket. Orang-orang mulai banyak membicarakannya hampir setiap hari. Sementara di saat yang sama, Buffon kehilangan waktu untuk dirinya sendiri, untuk apa-apa yang ia sukai.
Bahkan yang lebih menyedihkan, ia mulai kehilangan arah, hingga tak punya tujuan hidup sama sekali. Hari-harinya kian kosong, hidupnya menyepi di saat karirnya sedang riuh-riuhnya.
Berada di level Buffon saat itu, bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dijalani. Ia berkarir untuk klub sebesar Juve yang menuntutnya bekerja dengan sangat keras, disiplin, serta menjaga determinasi untuk tetap senantiasa prima. Kesalahan sedikit apapun, tak bisa ditoleransi. Buffon memang seorang Superman.