Maret di Temanggung adalah awal dari jejak petani untuk meneruskan masa kejayaan peninggalan warisan nenek moyang yaitu tembakau, tanaman yang hingga kini tetap eksis di hati pemirsanya kini mulai menampakkan aura keganjilannya. Adalah tak lain dan tak bukan faktor sang alampun yang seolah menjadi musuh besar semua gladiator pembawa cangkul, mereka hanya bisa pasrah menghadapi sang anomali yang berdampak begitu kejamnya untuk tanaman tembakau. Selain berpengaruh pada masa tumbuh tetapi perubahan musim juga mengakibatkan produksi tembakau kacau, ada terik matahari secuil saja mereka langsung berbirit – birit menjemur semua rajangannya.
Hal ini masih ditambahjika tembakau hasil panen telah dicampur dengan tembakau luar daerah Temanggung oleh petani maupun para pedagang, kualitas aslinya akan berkurang dan tentunya harganya berbalik anjlok seperti yang terjadi pada 1997-2000. Akan tetapi semua itu dapat dipastikan tidak akan membuat kapok para petani untuk menanam tembakau setiap tahunnya. Jika menilik harga tahun lalu cukup menguntungkan bagi petani, pasalnya pabrikan rokok bersedia membelinya tembakau hasil panen mereka sebesar Rp85.000 per kg, bahkan tembakau terunggul jenis Srintil melonjak mampu terjual senilai Rp845 juta per kg, bahkan PR Djarum siap membeli semua hasil jenis itu jika ada yang tumbuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H