Di usianya yang sudah 78 tahun inilah saatnya masa depan bangsa Indonesia mencapai cita-cita adil makmur aman dan sentosa, dengan catatan apabila di negeri ini tidak ada korupsi lagi.
Pancasila adalah perekat hidup bangsa, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 harus menjadi spirit seluruh warga bangsa untuk tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk mewujudnyatakan cita-cita luhur itu semua harus bertindak jujur. Pancasila dan UUD 1945 harus tetap menjadi kompas atau pedoman untuk hidup berbangsa dan bernegara.
Indonesia akan aman dan melaju maju kalau seluruh rakyatnya berkomitmen untuk kerja keras, kerja cerdas dan berperilaku hidup jujur. Jangan bangga dengan hasil korupsi karena korupsi itu tidak sama dengan 'rejeki'. Rejeki itu harus halal dan amanah, rejeki itu tidak pernah tertukar, porsi-nya pun sudah diatur oleh Dia yang Maha Kuasa, pasti cukup untuk kebutuhan hidup dan bukan untuk gaya hidup.
Pola hidup sederhana sudah dicontohkan oleh pemimpin bangsa ini yaitu Bapak Presiden Joko Widodo namun, anehnya di era pemerintahan beliau 'seolah-olah' korupsi merajalela. Begitu kata sementara orang, akan tetapi pada kesempatan ini penulis punya pendapat lain.
Bukan korupsinya yang merajalela melainkan usaha pemberantasannya yang getol dan pantang menyerah karena 'bersih-bersih' di era pemerintahan Bapak Jokowi benar-benar 'tidak main-main'. Birokrasi yang berliku dibenahi/dipangkas, pembangunan di bidang infrastruktur, terutama jalan dan fasilitas umum sangat diperhatikan.
Kalau ada hal-hal yang tidak beres seperti kenaikan harga pangan atau ketersediaan (kecukupannya atau kelangkaannya) segera beliau turun tangan bersama dengan menteri terkait yang membidanginya. Dengan prinsip: 'Kerja...Karja...Kerja' maka semua menjadi terpicu dan terpacu untuk tidak berleha-leha menikmati zona nyaman dan hanya kerja 'di balik meja'.
Negeri ini sesungguhnya sangat diberkati terbukti Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah namun, membenahi Sumber Daya Manusia (SDM) nya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Berbagai upaya telah ditempuh namun, hasilnya belum signifikan buktinya masih saja ada manusia yang bermental 'bobrok', rusak, korup karena mereka memaknai kata SDM semaunya sendiri, yaitu: 'Selamatkan Diri Masing-masing'. Sungguh keterlaluan, bukannya ikut membangun apalagi ikut prihatin buktinya bantuan sosial untuk bencana alam saja 'disunat' alias dikorupsi. Boro-boro turun tangan membantu tenaga atau pikiran kalau memang tidak punya cukup uang, bahkan uang yang telah dikumpulkan-pun diselewengkan masuk kantong sendiri.
Ingin kaya itu boleh, tidak ada yang melarang akan tetapi memperkaya diri sendiri dengan cara curang/culas itu jelas 'dosa'. Fakta menunjukkan bahwa ketaatan beragama tidak sejalan dengan perilaku koruptif. Dengan kata lain, taat beragama tidak meredam korupsi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis hendak bermaksud mengetuk hati nurani calon koruptor dan koruptor. Masih adakah rasa malu pada diri koruptor atau mereka yang melakukan tindak pidana korupsi itu benar-benar sudah putus urat malunya. Sadarlah bahwa korupsi itu merusak negara maka bebaskan diri dari korupsi kalau tidak mau dipermalukan.
Jangan Bertanya Apa Yang Negara Berikan Kepada-ku, Tapi Bertanyalah Apa Yang Dapat Kuberikan Kepada Negara-ku
Kata-kata John F. Kennedy ini mengilhami hati banyak orang ketika mengikuti upacara tujuhbelasan di mana-mana (kemarin). Ketika lagu 'Padamu Negeri' (ciptaan Kusbini) dinyanyikan bersama setelah mengheningkan cipta yang dipimpin inspektur upacara.