Lihat ke Halaman Asli

Menikah, Sumber Masalah Atau Akhir Masalah?

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1406351070827876963

Pernahkah berpikir, menanyai diri atau yang ada dalam keluarga juga pernikahan anda? Apakah Menikah adalah sumber masalah atau Akhir masalah?

Ada yang berpendapat, bahwa menikah adalah bentuk penyelesai masalah, apalagi dari sudut pandang seks, benarkah? Secara mayor, mungkin bisa benar, tapi dalam jumlah yang lain, bisa jadi juga tidak demikian. Berapa banyak pasangan malah menjadi uring uringan gara gara kebutuhan yang satu ini? Semakin bertambah tahun bercinta, salah satu pihak semakin lihai untuk urusan --bukan bercinta-- tapi mencari alasan yang tepat untuk menolak pasangannya.

Di dunia yang luas ini, berharap boleh, tapi ingin menyulap pasangan menjadi sosok Ideal. Itu adalah Theologi Absudr, seperti yang dijual sebagai kemasan Iklan oleh obat obat kuat dan Klinik klinik Rumah tangga. Selama pandangan kita selalu berhasil mempersepsikan diri sama dengan apa yang ada dalam kata Iklan, maka sampai titik itu, saya sampaikan, anda --kita-- , Selamat! atas keberhasilan menjadi budak Iklan dan Budak Media.

Sampai sampai, beberapa waktu lalu, saya mendapatkan sebuah tautan link berita, seroang Suami di Menuliskan sebuah daftar yang berisi berapa kali istri menolak ajakan untuk berhubungna intim, he he sebuah Ide yang briliant dan boleh ditiru ..

Saya pribadi menganut madzhab dan pendapat yang menyatakan bahwa Seks adalah miniatur hubungan suami istri yang lebih luas dalam kesehariannya. maksudnya, Ukuran Pasangna dengan kondisi hub seks yang bahagaia, cenderung menjalani kehidupan perkawinannya dengan bahagia demikian sebaliknya.

Untuk itu, Karena menikah adalah hub hati, jelas faktor hati adalah suatu subjek penelitian dalam memetakan apakah menikah adalah sumber masalah atau akhir permasalahan dalam rumah tangga seseorang, maksudnya, bukan `hati` dalam diskursus objek fisiologi tubuh, tapi kepada perilaku hati itu sendiri utamanya, dan kaitannya dengan cara berpikir kemudian yakni dalam ekskalasi kecerdasan psikolis lapangan tentang urusan rumah tangga.

Pertama, rumah tangga akan menjadi sumber masalah bila  gagal menterjemahkan bahwa hakekat nikah adalah untuk menghadapi dunia, bukannya dunia yang ingin terwujud dalam diri pasangan anda, ingat, tidak ada manusia yang sempurna di Muka bumi ini, untuk itulah anda/kita ada dan dipasangkanNya kepada suami/istri kita saat ini.

Beberapa saat lalu, saya menonton film `The Tourist`, sebuah film dengan alur komedy yang di arahkan dengan cerdas dalam alur keseriusan, skenario spionase dan aksi. Namun, bukan untuk mengomentari Filmnya, tetapi ada satu kata kata yang memiliki arti yang sangat dalam yang dengan cerdas di kutip oleh sang Sutradara. `Dia ingin menajarkanku kalau setiap orang punya dua sisi, sisi Baik dan Buruk. Dan kita harus menerima kedua sisi itu apa adanya dari orang yang kita Cintai.`

[caption id="attachment_349826" align="aligncenter" width="352" caption="Capture Film `The Tourist` "][/caption]

Yang perlu menjadi catatan kita, bukannya membiarkan orang yang kita cintai terus dengan keadaanya bila ia masih tidak baik. Tetap dengan keingingan mengajari, menasehati dan mengajaknya pada kebaikan dan kesempurnaan, tetapi dengan tetap megningat rumus Kebahagian : `Manusia bahagia, adalah mereka yang mampu hidup dalam hasrat tapi tetap bisa menerima dan menghadapi kenyataan realitas hidupnya, alias tidak berubah secara langsung, tatapi juga tidak statis, melainkan terus ada reaksi memperbaiki sejalan dengna hasrat hatinya, ~tanpa kehilangan passion akan pasangannya. (Ryancetooz Blog, edited -pen)

Ya, itu yang semakin jarang kita dengan dan semakin miskin terasa ajaran yang ada dalam kehidupan masyarakat kita sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline