Di tengah kegaduhan UM ITB-BNI kemarin, sempat menyelinap melihat drama musikal PERON di TIM Jakarta.
Drama berkisah tentang anak yang kehilangan harapan, lalu menemukan makna hidupnya kembali lewat serangkaian kejadian yang mengingatkan film "the accidental hero". Plot sederhana, kejadian satu babak di sebuah peron stasiun, dimana para penumpang terdampar karena ada perbaikan rel kereta.
Dengan sejumlah adegan karikatural, antar penumpang yang terdampar tersebut berinteraksi, saling mengenal dan menyingkap jati dirinya. Masa lalu, kepentingan dan mau kemana?
Ada penjudi yang kehilangan kewarasan setiap kali kalah bermain, ada rentenir yang menjerat, ada politikus yang terjebak hutang budi, ada pendeta yang kehilangan semangat dan hendak melarikan dari tanggung jawabnya dan ada sang tokoh, yang gagah seperti Rambo, namun berhati lunak seperti Rinto. Namanya persis: bang Rinto. Bang Rinto adalah the Godfather di peron tsb. Pelindung para pedagang dan juru selamat di antara para pengamen penghuni peron.
Kisah kemudian meluncur menyingkap siapa bang Rinto sebenarnya.
Drama ini hemat saya sangat menarik dan hidup. Orang bisa meratapi awal mula kejadian dan tidak bisa memperbaikinya, tapi setiap orang punya kesempatan untuk memperbaiki hari ini dan mengubah hasil akhir. Manusia tidak bisa didefinisikan dari apa yang telah lalu, ia mahkluk cerdas yang sanggup beradaptasi untuk berubah.
Agak disayangkan minimnya narasi pada publikasi. Saya bayangkan, mestinya drama ini diperkenalkan ke anak-anak SMA di Jakarta dan jika pesan drama tersebut dapat diterima dengan baik (paling tidak orang tuanya), pertunjukan ini akan banjir penonton. Serius.
Plot dan detail jalannya cerita sebenarnya bukan rahasia yang harus ditutup rapat. Di seni pertunjukan ini, penulis cerita, sutradara, arranger music, pengarah gaya dan segenap team telah menghadirkan karya seni yang anggun menjadi tontonan yang bermutu.
Rinto yang gagah di Peron tersebut memiliki sejumlah kompleks perasaan terkait masa lalu. Ia tidak bisa berdamai dengan hidup dan keluarganya. Situasi yang mengingatkan ucapan Carl Jung " Neurosis is always a substitute for legitimate suffering". Dari sudut pandang Carl Jung ini, semua tokoh penting di Peron adalah fugitive, para pelarian dari masalah hidupnya. Konflik moral deontology vs telelology antara petugas keamanan dan penghuni Peron digarap dengan sangat baik.
Penonton diajak utk mengikuti "logika umum para pedagang peron" namun kembali sang tokoh, bisa bersikap proper dengan lebih memilih kenyataan daripada realita semu yang memanjakan. Keberanian sang Tokoh untuk memilih pilihan moral yang bertanggungjawab menjadi penutup akhir sebuah tontonan yang cukup menguras emosi.
Saya beruntung menyaksikan drama kemarin. Dari sudut cerita, pengemasan dan performa pertunjukan PERON kemarin, hemat saya luar biasa. Tontonan berkelas.