Lihat ke Halaman Asli

Handaka Mukarta

peziarah batin

Pendidikan keluarga yang selama ini terabaikan: menyetrika

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

tak terasa, kami sudah 3th kami hidup tanpa pembantu. Apa yang semula kami anggap menyeramkan ternyata berakhir melegakan. Alasan utama saat itu, karena kami begitu mencintai anak kami, maka tidak mungkin kami membebaskan dia dari latihan-latihan & tanggung jawab yg baik untuk hidup dan masa depannya.

Eksperiman ini tidak mudah. Kami mesti menjelaskan, bahwa pekerjaan "di belakang" itu mulia dan perlu. Rasanya aneh, kalau lihat ada yg terbebas dari tanggungjawab rumah tangga karena berbagai kesibukan "remeh" seperti game, televisi, koran, socmed dsb. Menempatkan hal yang mulia pada tempatnya, tidak penting, first thing first. Saya juga harus ambil tanggung jawab yang sama. Bagaimanapun, pekerjaan ini adalah prioritas utama ketika berada di rumah. Bukan bersenang-senang atau malas-malasan.

Melalui setrika, cuci, menyapu kami belajar ketekunan, ketelitian, kesabaran, kerapian juga membagi waktu. Sepertinya dilebih-lebihkan. Saya benci menyetrika sebenarnya. Pengalaman indekos jaman SMA, kuliah sudah cukup. Setelah berkeluarga lalu ada pembantu, berakhir sudah "penderitaan tsb". Ini pekerjaan yangg sudah tak pantas dilakukan serta tidak bergengsi. Syukurlah, perasaan tsb ternyata bisa ditaklukan. Pandangan saya berubah, ketika suatu hari pulang ke rumah orang tua, kl 3th yll dan menyaksikan baju2 kotor diambil bapak untuk dicuci, dijemur lalu disetrika. Saat pulang, saya sering merasa menjadi anak-anak kembali seperti masih SD, apa-apa dilayani. Kebiasaan anak manja. Lagi pula, mereka melakukan dengan sukacita. Dalam keadaan sesibuk apapun, mereka tetap melakukan ritual hariannya. Ternyata, bapak tetap sama, yi melakukan apa yang diwaktu saya kecil dilakukan sebagaimana biasa. Bahkan ketika masih ada pembantu. Hampir tidak pernah bapak meminta orang lain melakukan, apa yang bisa ia lakukan sendiri. Namun ketika hal itu masih dilakukan saat usia mendekat 80, saya tersadar. Ini luar biasa. Apakah bapak begitu kuat atau kebiasaan tersebut membuat dia tetap sehat & kuat? Sementara saya suka cerita motivasi ke ibu tentangnenek di Jepang umur 73 masih mendaki gunung, usia 83th masih melakukan senam lantai dalam satu kompetisi. Apa bedanya dg mereka yg masih melakukan pekerjaan domestik rumah tangga seperti nyuci, ngepel, setrika dan sebagainya dengan penuh kesungguhan dan sukacita?

Untuk membiasakan ke anak kami, kami memakai pedoman 21 hari utk merubah habit. Intinya, kebiasaan baru mesti ditanamkan secara terus menerus hingga hari ke 21. Ini juga tidak mudah. Kami gampang kompromi dan mengambil alih tanggung jawab yg baik dg berbagai alasan. Bukankah tugas utama anak adalah belajar, mengerjakan tugas? Itu dulu. Jaman ketika pendidikan sekolah begitu didewakan, seolah solusi berbagai perkara dg cara menjadi "pintar", yi pintar memilih multiple choice. Sekarang, iman saya pada sekolah-sekolah yg masal itu sudah goyah. Dinding-dinding sekolah memang harus dirobohkan spt albumnya Pink Floyd. Skr kami mesti memasukan tanggung jawab domestik rumah tangga sbg kurikulum utama pendidikan keluarga yg dengan segala cara mesti kami tegakan dan junjung tinggi. Ini, jelas demi kebaikan dia. Sebuah "In harmonia progressio!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline