Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Medsos: Modus dan Relawan

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Modus, akronim dari modal dusta, telah menjadi salah satu dari beragam istilah gaul jaman sekarang yang marak dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Wabahnya tak hanya menjangkau para abege alay gahol, tapi menyentuh seluruh sendi segmen masyarakat. Bahkan merambat hingga ke isi kepala para elit politik negeri ini.

Arti sesungguhnya dari modus menurut KBBI adalah cara; Ling, bentuk verba yg mengungkapkan suasana kejiwaan sehubungan dengan perbuatan menurut tafsiran pembicara tentang apa yang diucapkannya; nilai yang paling besar frekuensinya dalam suatu deretan nilai; angka statistik yang paling sering muncul dalam populasi atau sampel. Tetapi kamus bahasa gaul jaman sekarang telah menunggangi penyorasi, lalu mengidentikkan modus dengan sebuah sikap caper yang bertendensi tertentu, seperti merayu atau gombal.

Apalagi di tengah maraknya penggunaan media sosial seperti saat ini. Akses untuk modus semakin terbuka lebar. Bisa melalui blackberry messenger, twitter, whatsapp, facebook, line, instagram, path, dll.

Lain modus lain relawan, yang kini menjadi kosakata baru dalam dunia politik Indonesia. Akses yang disediakan media sosisal memungkinkan orang menjadi lebih mudah berinteraksi, bertukar pikiran, dan berhimpun, meski melalui dunia virtual. Kitapun mengenal Jasmev (Jokowi Advanced Social Media Volunteers), sebuah kelompok relawan media sosial yang dikomandani Kartika Rini Djoemadi, meski berujung saling bully di media sosial dengan beragam istilah seperti Panasbung (Pasukan Nasi Bungkus), Panastak (Pasukan Nasi Kotak), Panasdeh (Pasukan Sayur Lodeh), etc.

Nun jauh di tenggara negeri ini, di daerah asal saya, di Bajawa Flores sana, terbentuknya Forum Komunikasi Masyarakat Ngada dan Diaspora (FKMND) beberapa waktu lalu juga berawal dari media sosial facebook. Sebuah wahana pembangun silaturahmi antara yang masih tinggal di Bajawa dengan mereka yang merantau. Bahkan di group media sosial itu, mereka berdiskusi, berdebat, bertukar gagasan, dan mengkonsolidasikan kekuatan untuk mengkritik ataupun melawan penguasa lokal yang dianggap sewenang-wenang.

Begitulah media sosial memainkan (dimainkan) perannya. Ingat: beberapa revolusi di Timur Tengah berawal dari konsolidasi melalui media sosial.

Ada modus, ada tulus. Itulah antonim. Para relawan yang selama masa kampanye menghabiskan waktu, tenaga, biaya, dan bahkan air mata untuk capres pujaannya, berujung dicap sebagai kelompok para modus. Mereka digambarkan sebagai kelompok yang berambisi ingin meminta ‘jatah’. Relawan ditempatkan sebagai antagonis, sedangkan kader-kader partai dan para birokrat teknokrat dipoles menjadi tokoh protagonis.

Hal ini pernah menimpa Boni Hargens dan kawan-kawannya yang dituduh berambisi masuk kabinet kala menyambangi rumah transisi, yang kini mulai terdengar nada sumbang sebagai rumah transaksi. Begitupula Adian Napitupulu yang harus diusir oleh Paspampres karena memakai jacket kulit saat menghadiri konser Jokowi dan Slank. Kedua peristiwa itu pun menjadi santapan empuk untuk dibully di media sosial. Kelompok relawan semakin dipojokkan.

Seorang teman saya yang awet jomblo-nya pernah mengeluh, “jika si cewek juga naksir si cowok, maka perhatian dari si cowok walau berlebihan, akan dianggap sebagai sikap tulus; tetapi jika si cewek tidak tertarik pada si cowok, maka perhatian dari si cowok akan dianggap sebagai modus”.

Itulah yang saat ini terjadi di pentas perpolitikan nasional, dan merambat hingga ke daerah-daerah. Sebagian besar elit partai politik negeri ini seolah kaget dan tak ingin menghadapi kenyataan bangkitnya demokrasi partisipatoris dari rakyat melalui kelompok-kelompok relawan. Bahkan seruan dari Jokowi bahwa setelah Pemilu, rakyat harus kembali fokus ke pekerjaan dan kesibukan masing-masing adalah sebuah pernyataan yang agak ganjil. Alih-alih mengajak rakyat terlibat dan mengawal jalannya pemerintahan, Jokowi malah seolah ingin memberikan sinyal bahwa rakyat cukup mengawal sampai proses pemilihan saja. Selanjutnya serahkan pada Jokowi dan elit-elit saja.

Di daerah, jika ada kelompok kritis yang berhimpun lalu melakukan perlawanan sebagaimana yang dilakukan oleh FKMND, maka suara-suara sumbang akan menghubung-hubungkan dengan kelompok kepentingan di luar kubu yang berkuasa. Sebagaimana relawan di pentas nasional, tuduhan sebagai kelompok yang memiliki modus pun muncul. Itulah resiko terlampau lamanya tirani orde baru menghegemoni.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline