Lihat ke Halaman Asli

Perjuangan Pembebasan: Bangkitlah Melawan!

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tema lomba penulisan tentang perjuangan yang membebaskan ini, mengingatkan saya pada apa yang didengungkan oleh Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brazil; pendidikan yang membebaskan. Freire menekankan pada pendidikan untuk kaum tertindas, marjinal, dan terjajah. Seperti Jokowi yang menyerukan perlunya revolusi mental pada bangsa Indonesia, Freire memandang bahwa kesadaran palsu yang menyelimuti isi kepala kaum tertindas haruslah dibongkar. Sebab kesadaran akan dikuti oleh sikap atau tindakan keseharian hidup. Sementara penindasan selalu membentangkan hamparan pembenaran ilusif melalui regulasi-regulasi ilmiah yang menghegemoni. Untuk itu, Freire mengkategorikan kesadaran atas 3 klasifikasi; apatis, naïf, dan kritis.

Apatis menggambarkan sikap masyarakat tertindas yang pasrah ataupun acuh tak acuh pada keadaan. Naif menggambarkan sikap masyarakat tertindas yang paham akan realitas obyektif, tetapi memilih diam atau pura-pura tak tahu. Sebaliknya, kritis menggambarkan sikap yang paham realitas problematika dan berusaha untuk mempertanyakan atau memperjuangkannya.
Jika kita membaca Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananata Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang menceritakan sejarah awal cikal bakal Republik ini, maka karakteristik dan kategori kesadaran masyarakat menurut pembagian yang dibuat Freire di atas akan dengan mudah kita jumpai.

Pram dengan jeli menggambarkan situasi masyarakat Indonesia, terutama Jawa, yang masih hidup dalam masifnya feodalisme di satu pihak dan kuatnya hegemoni penjajahan kolonialisme di lain pihak. Kesadaran sebagai bangsa Indonesia sama sekali belum ada di awal abad 20 itu. Tetapi hukum filsafat berbicara, materi selalu berubah bergerak, berdialektika. Perkembangan pasar dunia, revolusi eropa, maupun kebangkitan bangsa-bangsa terjajah melahirkan politik etis ala Van Deventer: edukasi, irigasi, dan transmigrasi.

Dari sanalah intelektual-intelektual pribumi lahir, terutama melalui sekolah dokter. Merekalah pribumi awal yang terbebas dari kesadaran apatis. Lalu, di Rumah Kaca-nya Pram kita disuguhkan oleh pertarungan antara dua pribumi. Minke sebagai agen perubahan nasib pribumi, Pangemanann sebagai agen kolonial Belanda. Minke menggunakan kesadaran kritisnya, Pangemanann terlelap dalam nikmatnya kesadaran naif. Minke melalui Sarekat Dagang Islam dan koran Medan Prijaji-nya porak poranda, Pangemanann mendapat promosi kenaikan pangkat dari pemerintah kolonial. Minke kalah. Akan tetapi, empat fondasi kaki Nandi-nya telah menapaki gerbang kegemilangan hari depan: pers (tulisan-koran), organisasi, mogok (boycot), dan konsep persatuan di antara bangsa-bangsa yang terperintah (terjajah).

Minke adalah kisah tentang sang pionir dan bapak pers Indonesia, Raden Mas Tirto Adhie Soerjo. Minke adalah seperti apa yang digambarkan oleh Antonio Gramsci: intelektual organik. Intelektual yang berani mempraksiskan teori atau ilmu yang dipelajari dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran untuk masyarakat tertindas. Ilmu amaliah, amal ilmiah. Sebuah potret yang diimpikan oleh Paulo Freire. Sebagaimana cita-cita rakyat Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Cita-cita yang berhasil diwujudkn dengan mengorbankan keringat, air mata, darah para pejuang di medan tempur, dan kelihaian para diplomat di mimbar internasional.

Kini usia Indonesia telah mencapai 69 tahun. Ada berbagai dinamika dan situasi yang mengiringi perjalanannya. Mulai dari konsep revolusi yang belum selesai ala Bung Karno yang menekankan pada perjuangan menuju Sosialisme Indonesia, menolak kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme, lalu pembantaian kaum progresif di tahun 1960-an yang menandai naiknya Pak Harto serta bercokolnya Orde Baru yang militeristik dan membuka kran masuknya imperialisme asing ke Indonesia, sebuah era yang menjadi cikal bakal kekayaan Indonesia; meminjam istilah Prabowo Subianto, bocor ke asing, dan kini era reformasi dengan segudang polemik yang melatari demokrasi liberal di dalamnya.

Usia 69 tahun ini diwarnai dengan sengitnya pertarungan Pilpres yang terbagi dalam dua kubu besar, yang kemudian berlanjut pada tarik ulurnya kelompok kepentingan di parlemen dan transaksi di masa transisi. Tak ada yang secara tegas menyampaikan konsep nasionalisasi asset-aset ataupun renegoisasi kontrak yang menguntungkan rakyat, sehingga Indonesia tak perlu dibuat pusing oleh polemik  Bahan Bakar Minyak (BBM). Entah apa yang ada di pikiran para elit itu. Keinginan-keinginan di masa kampanye tak lebih sebagai janji-janji manis yang membuai.
Kita kembali disuguhkan dengan kehadiran para Pangemanann baru, yang memainkan akrobat politik di media. Rakyat kembali digiring ke alam kesadaran apatis oleh para politisi yang sedang memainkan kesadaran naifnya. Bahkan partisipasi politik rakyat secara langsung dalam Pemilu sedang diwacanakan untuk dipangkas.

Dalam situasi yang serba tak menentu seperti ini, peranan pers sebagai media, termasuk media online di dalamnya, untuk pendidikan kaum tertindas menjadi sangatlah penting. Media tak boleh lagi menyuguhkan keberpihakan pada salah satu pihak seperti di Pilpres kemarin, selain berpihak pada kebenaran. Media haruslah mencerdaskan kehidupan bangsa, mendidik rakyat tertindas untuk paham hak-haknya. Sebagaimana Minke dalam Koran Medan Prijaji; “mendidik rakyat dengan organisasi, mendidik penguasa dengan perlawanan”.

Siapkah media untuk itu? Perjuangan penghabisan, bangkitlah melawan!

*******
Dante Che, 08 September 2014

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline