Lihat ke Halaman Asli

Keputusan : Antara Revolusi dan Cinta

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

'Tak ada revolusi tanpa cinta', pekik Che Guevara pada para pemuda. Sebab revolusi bukanlah kemarahan, chaos, ataupun penderitaan. Revolusi bukan pula sebuah kesesatan, sebagaimana doktrin para tirani yang menghegemoni kesadaran generasi ke generasi.

Sebaliknya, revolusi adalah sebuah keniscayaan, gerak maju sejarah yang tak terelakkan. Arus tanpa bendungan yang menghalau dan menyapu segala hal usang yang menghadang. Benturan laju tenaga produktif yang dialektik dengan warisan purba yang konservatif. Akan tetapi, begitulah, perubahan senantiasa menimbulkan gegar budaya.

Kembali kepada Che. Didorong oleh luapan kekecewaannya pada ketimpangan sosial dan letupan cintanya yang begitu besar pada persamaan hak sebagai manusia, maka ia memutuskan meninggalkan pacarnya yang berasal dari kalangan aristokrat.

María del Carmen Ferreira alias Chichina, nama sang gadis, dengan getir membaca penggalan kalimat perpisahan dari pemuda flamboyan asal kota Rosario itu, "aku tahu aku mencintaimu dan sangat mencintaimu, tetapi aku tidak bisa mengorbankan kebebasanku untukmu; ini berarti mengorbankan diriku, dan aku adalah hal paling penting di dunia, seperti yang pernah kukatakan kepadamu".

Realitas obyektif menggugat nalarnya, penindasan menghujam nuraninya. Che memutuskan melepas kehidupan mainstream yang mapan tetapi penuh kemunafikan lalu total berjuang di garis massa rakyat tertindas. Meninggalkan zona nyaman, menyongsong perjuangan.

Sedangkan Moliere, dalam karyanya La Misanthrope, mengisahkan seorang tokoh bernama Alceste. Sang tokoh begitu benci pada kehidupan yang penuh dengan kemunafikan. Bahkan, saking radikalnya, Alceste memutuskan mengakhiri hidupnya agar terbebas dari labirin kemunafikan yang bercokol menggerogotinya. Sebuah kisah yang mengingatkan kita semua pada sosok Sondang Hutagalung. Seorang mahasiswa Universitas Bung Karno yang tinggal selangkah lagi menyelesaikan studinya, tetapi memilih membakar diri di depan istana negara sebagai bentuk protes terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak yang ditetapkan pemerintah ketika itu. Ia mungkin saja begitu muak terhadap segala ketidakadilan yang terjadi, sehingga menganggap bahwa hidup tak lagi berarti.

Kisah-kisah nekat mereka yang berbeda dari homogenitas memang nyeleneh. Bisa juga dianggap sebagai kegilaan. Namun sungguh indah dan dramatik. Mereka memberi harga pada sesuatu yang orang kebanyakan anggap sebagai sebuah hal yang sia-sia.

Masih ada pula kisah dalam legenda Troya. Ketika tiga dewi Olympus bertengkar hebat mengklaim sebagai yang tercantik. Kisahnya bermula pada pesta pernikahan megah antara Peleus dan Testis, orangtua Achiles. Semua dewa-dewi, raja-ratu, bangsawan, dan rakyat diundang untuk menghadiri pesta akbar tersebut. Kecuali Dewi Perselisihan. Pilihan terhadap keputusan itu, tentu dengan maksud agar pesta berjalan tanpa polemik atau pertentangan yang berujung perselisihan.

Akan tetapi, sadar bahwa hanya dirinya yang tak diundang, terbitlah kemarahan yang tak terelakkan. Diambilnya apel emas lalu dibubuhi tulisan, 'untuk yang tercantik', kemudian dilemparkan ke dalam keramaian pesta. Perayaan yang awalnya tertib, berubah gaduh. Semua perempuan mengklaim sebagai yang tercantik dan berhak atas apel emas tersebut.

Di akhir hingar bingar itu, tersisa tiga dewi yang masih bertahan mengklaim sebagai yang paling berhak. Kala itu, lembaga quick count dan mahkamah konstitusi belum ada. Lagipula ini bukan persoalan persentase kemenangan atau masalah tata negara. Kecantikan, sebuah masalah subyektif yang mengabadi. Ia lebih dari sekedar sebuah kemenangan, sesuatu yang lebih tinggi dari pengakuan. Maka mereka bersepakat untuk menunjuk Paris sebagai jurinya.  Paris, mungkin juga hakim-hakim dan juri-juri idol jaman sekarang, dihadapkan pada tiga kekuatan besar yang sedang bertarung; lengkap dengan sogokan dan ancaman pada eksistensi diri.

Juno, ratu para dewa itu menjanjikannya akan menjadi penguasa besar dan mashyur di kaki Olympus.  Minerva, menjanjikannya akan menjadi orang paling bijak di dunia. Venus menjanjikannya akan memperisteri puteri tercantik di dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline