Suatu saat di salah satu grup Whatsapp, dalam sebuah obrolan tentang kondisi saya saat ini, seorang sahabat saya berkata, "Wah, kamu beruntung, bisa merasakan apa yang para penyandang disabilitas rasakan sebenarnya"? Saya sedikit tersentak degan kata-kata 'beruntung' ini. Sebagian kawan lain menyematkan emot tertawa.
Beberapa detik kemudian saya sadar, dan berkata, "benar, alhamdulillah".
Sialan, bahkan istilah 'disabilitas' dalam perangkat lunak Word, pun belum diverifikasi sebagai kata yang baku dalam pilihan bahasa Indonesia, selalu bergaris bawah merah dan tidak ada opsi yang harus digunakan jika klik kanan.
Pasca kejadian
Hampir tiga bulan yang lalu, setelah mengalami kecelakaan kerja, dilanjutkan menjalani operasi, saya harus menghadapi keadaan untuk memperlambat segala aktivitas saya. Kaki kanan saya cedera, sehingga dalam proses pemulihan, saya harus menggunakan sepasang kruk.
Secara mental, keadaan ini bukan sesuatu yang cukup mengguncang saya. Bertahun-tahun saya dan istri merawat anak kami yang juga menyandang disabilitas. Namun, inilah pengalaman pertama saya, walau kondisi disabiliti yang saya rasakan ini hanya sementara.
Pasca operasi saya hanya berdiam di kamar kos. Masih jauh dari rumah, saya ditemani kawan-kawan baik di kota tempat saya bekerja, di satu kota di Sulawesi. Untuk mobilitas di dalam kamar, saya menggunakan sepasang kruk, seperti yang disarankan oleh dokter ortopedi saya.
Dua kali sepekan, saya harus kontrol ke rumah sakit. Di awal, hal ini ternyata bukan perkara mudah. Kendaraan mobil dibantu oleh kawan kerja. Saya pun masih ditemani oleh kawan saya setiap berkunjung ke rumah sakit.
Rumah sakit dan hotel
Di rumah sakit ini (tempat saya operasi sebelumnya), memang selalu tersedia kursi roda. Jalur kursi roda pun ada, namun bagi saya cukup mengerikan, tanjakannya lumayan ekstrem. Kawan saya kadang harus lepas sandal atau sepatu, antisipasi jangan sampai slip.
Selain hal di atas, rumah sakit (RS) di kota ini cukup ramah terhadap saya sebagai penyandang disabilitas sementara. Para satpam cukup responsif, kadang kala saya diminta untuk menunggu di ruang VIP, atau minimal disediakan tambahan kursi untuk menyangga kaki saya yang masih terpasang gips dan spalk karet perban.