Kelangkaan kedelai dan minyak goreng membuat produsen tahu kelimpungan.
SAYA memanggilnya Mbah Weti. Usia sekitar 60-an. Tinggal di Desa Kutawis, Kecamatan Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah. Saya berkesempatan datang ke rumahnya secara tidak sengaja pada Minggu, 27 Februari 2022.
Sudah puluhan tahun, ibu berputra tiga ini memproduksi tahu. Si ibu lupa sejak kapan persisnya membuat tahu. Yang dia ingat, waktu memulai produksi tahu, anak-anaknya masih kecil.
Kala itu, usaha tahu dikerjakan bersama suaminya. Kini, suaminya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Anak-anaknya sudah berumah tangga dan berpindah rumah.
Kelangkaan kedelai sebagai bahan baku membuat tahu sudah berulang kali dia alami. Namun kali ini, dirasa lebih parah. Soalnya bersamaan dengan menghilangnya minyak goreng di pasaran.
"Saya berhenti produksi," ujarnya ditemui di rumahnya.
Menurutnya, harga kedelai impor kini menjadi mahal. Awalnya Rp 8.000 per kilo, menjadi Rp 12.000 per kilo. Juga harga minyak goreng ikut naik. Plus susah dicari.
"Saya jadi tidak bisa membuat tahu. Dan tidak bisa menggorengnya," ujar Mbah Weti. Karena tidak berproduksi, dia mengaku tidak memperoleh penghasilan.
Kebiasaan jualan si ibu adalah membuat tahu dari bahan baku, lalu digoreng. Tahu dijual per biji Rp 500. Per bungkus bisa dijual Rp 5.000-Rp 10.000. Uang hasil penjualan digunakan untuk makan sehari-hari dan sisanya untuk dikumpulkan membeli stok kedelai.
Saat ini, kedelai impor sudah bisa diperolehnya. Begitu juga minyak goreng. Mbah Weti mendapat minyak goreng curah. Masih sulit menemukan minyak goreng kemasan di pelosok desa.