Lihat ke Halaman Asli

Hanan Wiyoko

Saya menulis maka saya ada

RUU Pemilu dari Tinjauan Tata Kelola Pemilu

Diperbarui: 4 Februari 2021   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dari ipc.or.id

REVISI Undang-undang Pemilu sudah masuk daftar 33 RUU program legislasi nasional (proglegnas) 2021 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masih pro dan kontra. Komisi II DPR mengusulkan revisi UU Pemilu ini ke Badan Legislasi (Baleg) pada Senin (16/11/2020) dengan alasan bahwa terjadi tumpang tindih pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. (Kompas.com, 29/1). RUU Pemilu merupakan inisiatif DPR.

Proses politik menunjukkan terjadi tarik menarik sembilan fraksi di DPR. Tiga fraksi menolak revisi yakni Gerindra, PPP, dan PAN. Empat fraksi menyetujui revisi yakni Golkar, Nasdem, PKS, dan Demokrat. Dua fraksi lain, yakni PDIP dan PKB menolak UU Pilkada diutak-atik, khususnya penyelenggaraan Pilkada 2024 (Kompas, 3/2). Ada 22 pasal krusial dalam RUU Pemilu yang belum disepakati. Misalnya, tahun pelaksanaan pilkada, ambang batas presiden dan parlemen, keserentakan pemilu, sistem pemilu, peradilan pemilu, dan hal lain.

Adapun sinyal dari pemerintah, presiden dan kementerian dalam negeri (Kemendagri), menyiratkan tidak perlu dilakukan revisi saat ini. (CNN,29/1). Pertimbangan yang diberikan karena UU Pemilu saat ini mengatur Pemilu 2024 yang belum dilaksanakan.

Tanggapan publik pun beragam. Misalnya disampaikan oleh Titi Anggraini, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) yang menyatakan perlunya dilakukan revisi UU Pemilu untuk memperkuat tata kelola pemilu di Indonesia untuk jangka panjang (Kompas.com, 30/1). Adapun tanggapan belum perlu dilakukannya revisi seperti disampaikan akademisi Ahmad Sabiq, dosen Ilmu Politik FISIP Unsoed (Antara.com, 28/1) dan  Mikhael Rajamuda Bataona, dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang (Antara.com, 2/2). Dalam pandangan akademisi, revisi undang-undang Pemilu belum mendesak dilakukan karena ditinjau dari electoral reform belum memenuhi dilakukannya perubahan. Harian Kompas pada 3 Februari 2021 menurunkan kartun opini yang menyiratkan pembahasan RUU Pemilu berlangsung alot dan jauh dari kepentingan rakyat.  

Penulis berpendapat, sebaiknya regulasi Pemilu disusun untuk jangka waktu lama. Sehingga tidak ada kesan bongkar pasang untuk kepentingan jangka pendek dan mengakomodir kepentingan elite untuk melanggengkan kekuasaan. Bila diperlukan revisi, maka revisi tersebut betul-betul memperbaiki penyelenggaraan pemilu dan pada hal-hal substansi guna mewujudkan pemilu bermartabat dan demokratis. Revisi dilakukan dengan mendengar pendapat pakar serta hasil evaluasi penyelenggaraan pemilu/pilkada terakhir. Maka membicarakan UU Pemilu sebagai legalitas atau dasar hukum penyelenggaraan pemilu sama halnya membicarakan tata kelola pemilu (electoral governance).

Menurut saya, tata kelola pemilu ibarat infrastruktur politik. Hal yang penting dalam proses berdemokrasi, guna mewujudkan pemilu yang bermartabat dan berasas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Karena itu, tata kelola pemilu yang baik bagi saya akan mempengaruhi demokratisasi dan hasil pemilu sesuai kehendak rakyat.

Pengertian Tata Kelola Pemilu

Menurut Mozzar dan Schedler (2002) dalam buku Tata Kelola Pemilu di Indonesia (2019:4), disebutkan tata kelola pemilu adalah sebuah kumpulan atas aktivitas-aktivitas yang saling terkait satu sama lain yang melibatkan pembuatan aturan, pelaksanaan aturan, dan ajudikasi aturan,". Menurut keduanya, seperti dikutip Mada Sukmajati dan Aditya Perdana (2019 : 4), ada tiga level dalam tata kelola pemilu yakni rule making, rule aplication, dan rule ajudication. Masing-masing level memiliki elemen-elemen yang berbeda yang merupakan satu rangkaian.

Pengertian lain konsep tata kelola pemilu  disampaikan Tores dan Diaz (2015) adalah sebuah siklus yang berakar di dalam desain kebijakan, melalui mekanisme administrasi, dan berprinsip keadilan internal pemilu, dengan kemungkinan bahwa siklus ini akan berakhir pada sistem regional atas revisi hak asasi manusia. Dari penjelasan ini, ada tiga hal penting yakni : (1) pemilu dianggap sebagai sebuah siklus : sesuatu yang berulang dengan tahapan yang rijid. (2) adanya proses review / kajian di tiap tahapan, dan (3) dimungkinkan adanya revisi desain dan lembaga-lembaga kepemiluan sebagai tahapan awal.

Dari dua penjelasan di atas, penulis menarik  benang dengan situasi penyusunan RUU Pemilu saat ini. Bahwa penyusunan revisi UU Pemilu merupakan hal yang lazim dilakukan dalam sebuah siklus tata kelola pemilu. Penyusunan revisi UU Pemilu masuk dalam level rule making yang disusun bersama oleh aktor-aktor  Hal ini juga sesuai dengan penjelasan pengertian tata kelola pemilu menurut Catt.et al (2014) dalam Mada Sukmajati dan Aditya Perdana (2019: 5) yang memasukan penetapan kerangka legal sebagai bagian pertama dari siklus dalam tata kelola pemilu.

Dalam siklus tata kelola pemilu yang pertama disebutkan tahapan tersebut sebagai dasar awal dan bersifat fundamental untuk menjadi aturan hukum. Untuk itu, dalam tahapan ini revisi sistem pemilu dan batasan-batasan kepemiluan, ataupun aturan perilaku dalam pelaksanaan pemilu dapat diajukan sebagai bahan legislasi kepemiluan. Untuk itu, proses penyusunan UU Pemilu menjadi pintu masuk pertama mewujudkan pemilu yang demokratis dan bermartabat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline