Lihat ke Halaman Asli

Indonesia: Pasar Energi (yang Tumbuh Cepat) di Asia

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Indonesia sedang berkembang menjadi pasar energi yang besar di Asia.  Penduduk banyak dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, permintaan energi di dalam negeri yang terus meningkat serta penurunan produksi minyak bumi di dalam negeri telah menggiring negeri kita menjadi pengimpor energi dengan volume yang terus membesar.

Ekonomi tak mungkin tumbuh tanpa keamanan pasokan energi yang memadai. Demi mempertahankan/ memperbaiki ketahanan energi ke depan, selain harus mengamankan produksi energi dan memanfaatkannya sebesar mungkin bagi kebutuhan dalam negeri, kita perlu mengupayakan pula agar impor energi itu tidak berkembang cepat.

Perkembangan Impor Energi

Dulu Indonesia termasuk negara pengekspor minyak bumi utama, satu-satunya wakil OPEC dari Asia. Namun tahun 2006 kita mulai menjadi pengimpor neto minyak bumi,  bahkan melepaskan keanggautaan di OPEC tahun 2008.

Bensin adalahkomoditas energi yang sekarang pun Indonesia sudah termasuk pengimpor besar dunia.  Impor bensin (juga solar) terus meningkat, disebabkan oleh melonjaknya konsumsi yang didorong pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor serta harga bensin murah karena subsidi pemerintah.  Ketergantungan pada bensin sebagai bahan bakar masih sangat besar di negari kita, terutama di sektor transportasi yang masih merupakan konsumen energi terbesar. Diperkirakan sebelum tahun 2020 Indonesia akan menjadi importir bensin terbesar di dunia.  Pada tahun itu impor bensin kita akan mencapai 450 ribu barel per hari (bph), dari saat ini sekitar 350 ribubph.

Tidak hanya bensin sebagai produk kilang minyak yang impornya akan membesar, tapi juga minyak mentah.  Indonesia pernah memproduksi minyak mentah hingga 1,7 juta bph (1977).  Namun, kemampuan produksi itu telah anjlok menjadi kurang dari separuhnya (di bawah 850 ribu bph belakangan, bahkan di bawah 800 bph sekarang ini).  Dengan produksi yang terus menurun (demikian pula bagian pemerintah untuk minyak mentah dari Perjanjian Bagi Hasil), kita terpaksa memperbesar impor minyak mentah untuk dipasok ke kilang-kilang minyak di dalam negeri.  Besaran impor minyak mentah belakangan ini telah mencapai 400 ribu bph.

Komoditas energi lainnya yang akan membutuhkan tambahan impor adalah LPG (liquefied petroleum gas).  Di tahun 2006, dipacu oleh lonjakan harga minyak yang terus menerus,  pemerintah menjalankan kebijakan untuk menggantikan minyak tanah (kerosin) dengan LPG. Program tersebut cukup berhasil diukur dengan jumlah minyak tanah yang digantikan.

Sayangnya, Indonesia bukanlah penghasil LPG yang cukup besar.  Karena kapasitas produksi LPG di dalam negeri terbatas (sebagian besar dari kilang minyak dan kilang LNG Bontang, saat ini sekitar 2,5 juta ton per tahun/jtpt), sementara permintaan kita telah meningkat menjadi 5,3 jtpt pada tahun belakangan ini, maka kita harus mengimpor kekurangannya dari pasar internasional.

Banyak industri di Tanah Air, termasuk pembangkit listrik, telah lama mengeluhkan langkanya pasokan gas bumi.  Indonesia mengembangkan industri gas buminya sejak 1970-an, tercatat pernah menjadi pengekspor LNG (liquefied natural gas) terbesar di dunia dalam jangka yang cukup lama (sekitar  3 dekade).  Sayangnya, pengembangan industri gas bumi yang besar itu digunakan untuk melayani permintaan di luar negeri, sebagai bagian dari rantai industri LNG.  Posisi Indonesia sebagai negara pengekpor LNG terbesar dunia telah diambil alih oleh Qatar, dan bahkan Malaysia, yang industri LNG-nya berkembang cepat.

Sumber-sumber gas bumi besar yang telah dikembangkan itu berada jauh dari pusat-pusat permintaannya terutama di Jawa.  Membawa gas bumi dari sumber-sumber penghasil LNG tersebut ke Jawa/Sumatra (setelah masa kontrak jual-belinya dengan negara asing: Jepang, Korea Selatan, Taiwan selesai) akan tidak mudah karena hambatan besar berupa ketiadaan infrastruktur. Beberapa kajian mengenai kemungkinan membawa gas bumi, misalnya dari Kalimantan Timur ke Jawa sudah dilakukan, bahkan tender mengenai kerja sama pembangunan ruas transmisi itu sudah diadakan dan pemenangnya diputuskan Pemerintah, namun pembangunannya sampai sekarang belum terealisasi.

Perkembangan yang belakangan terjadi adalah sebuah FSRU (floating storage regasification unit) telah dibangun di lepas pantai utara Jakarta, yang memungkinkanpembangkit listrik berbahan bakar gas di sekitar Jakarta mengimpor LNG (saat ini baru dari Badak, Kalimantan Timur). Sebuah FSRU lainnya sedang dibangun di Lampung, dan ada rencana membangun unit regasifikasi serupa di Jawa Tengah. Melengkapi itu, sedang dibangun pipa transmisi gas bumi yang akan mengalirkan gas dari Aceh (bekas LNG Arun) ke Sumatera Utara.  Bila pembangunan unit-unit regasifikasi tersebut terus berkembang di beberapa tempat (disertai jaringan transmisinya), maka kemungkinan untuk mengimpor gas bumi menjadi terbuka, mungkin sebelum 2020.

Untuk batubara, selama masih bisa mempertahankan ekspor batubara kita tidak meroket, Indonesia tidak akan memerlukan impor batubara untuk 1-2 dekade mendatang. Yang lebih penting bagi ketahanan energi adalah Indonesia tidak mempertahankan status sebagai salah satu pengekspor batubara terbesar di dunia.

Perubahan Sumber Impor

Kebutuhan impor energi Indonesia yang meningkat akan mengubah peta darimana kebutuhan energi itu akan diimpor.

Impor minyak mentah Indonesia nantinya akan berasal dari negara-negara tetangga (Malaysia, Brunei , Vietnam), Timur Tengah, dan bahkan dari Asia Tengah (Rusia dan negara-negara bekas Uni Soviet ). Sejauh ini sebagian besar impor LPG berasal dari Saudi Arabia (Aramco), tapi di masa depan kita perlu mencari sumber-sumber lain, termasuk Amerika Serikat (yang akan memiliki kapasitas ekspor LPG karena revolusi shale gas mereka). Dari berita-berita di media massa, upaya mendekati Rusia dan negara-negara Asia Tengah lainnya cukup banyak dilakukan di ‘kalangan atas’, misalnya oleh Kemenko Perekonomian.  Sementara itu, Pertamina telah menjajagi kemungkin mengimpor LNG/LPG dari Amerika Serikat.

Perkembangan kebutuhan kita akan bensin akan berpengaruh terhadap pasar regional. Secara tradisional kita mengimpor bensin dan produk minyak lainnya dari Singapura yang merupakan pusatkilang minyak regional. Karena rencana pemerintah membangun/meningkatkan kapasitas kilang nasional tampaknya belum akan terwujud dalam waktu dekat (dan kapasitas kilang kita tetap di sekitar 1,15 juta bph, yang tidak berubah dari lebih dari 2 dekade), maka impor bensin dan solar akan meningkat. Tidak hanya dari kilang di Singapura, tapi termasuk juga dari kilang Malaysia di Johor Bahru yang kini sedang dikembangkan.

Selama ini Indonesia mengekspor gas bumi melalui pipa ke Singapura, baik yang berasal dari laut Natuna maupun yang berasal dari Jambi (disalurkan melalui Batam).  Dengan makin berkembang dan ter-interkoneksi-nya infrastruktur gas bumi di Indonesia, serta berhasilnya Singapura mengembangkan posisinya sebagai “gas hub” nantinya, keadaaan akan berbalik dimana Singapura mungkin akan tumbuh menjadi sumber bagi impor gas Indonesia.  Alternatif lainnya adalah mengimpor dalam bentuk LNG dari sumber-sumber yang menawarkan harga kompetitif, termasuk kemungkinan dari Amerika Serikat yang produksi gas buminya (dari shale gas) akan melonjak.

Meningkatkan Ketahanan energi

Peningkatan ketergantungan pada impor energi akan merentankan ketahanan energi kita, di sampingmenjadi beban berat bagi APBN.  Bila ketergantungan impor itu terus meningkat –dan BBM masih terus disubsidi secara besar-besaran—maka bukan mustahil rentannya ketahanan energi itu akan itu akan melemahkan ketahanan nasional kita.

Demi meningkatkan ketahanan energi kita, laju impor energi perlu dihambat dengan melakukan beberapa tindakan strategis.

Pertama, dengan membangun (kembali) iklim investasi yang lebih kondusif sehingga bisnis dapat bekerja lebih baik, dan cadangan serta produksi bahan bakar fosil, khususnya minyak bumi kita, dapat merambat naik lagi. Kapasitas produksi minyak bumi kita sudah harus dinyatakan dalam kondisi “darurat” dan beberapa kegiatan mengatasinya, terutama tindakan “pengurasan lanjut” (enhanced oil recovery) perlu dilakukan secara masif.

Untuk mengurangi laju impor produk minyak yang terus menekan APBN dan neraca perdagangan internasional Indonesia, kapasitas kilang minyak dalam negeri harus ditingkatkan.  Hambatan-hambatan yang dijumpai dalam upaya pengembangan kapasitas kilang minyak selama ini perlu disingkirkan, dan terobosan perlu dilakukan agar pembangunan kilang baru terealisasi.

Kedua, mengembangkan infrastruktur energi, terutama untuk gas bumi, sehingga cadangan gas di daerah terpencil dapat diolah dan secara bertahap terhubungkandengan pusat-pusat permintaannya. Infrastruktur distribusi untuk mengantarkan gas bumi ke rumah-rumah tangga perlu dikembangkan. Demikian pula, upaya menggunakan bahan bakar gas di sektor transportasi (yang dulu pernah dikembangkan) perlu dihidupkan kembali dan diperbesar jangkauannya.

Ketiga,mempercepat pengembangan potensi energi terbarukan, terutama panas bumi dan air (hydro). Kedua jenis energi terbarukan yang potensinya cukup besar di Indonesia ini –dan sedikit banyak sudah dimanfaatkan—perlu terus didorong pengembangannya.  Sumber-sumber energi terbarukan lainnya, terutama yang menghasilkan bahan bakar nabati (BBN) serta sampah (kota maupun yang berasal dari biomass) juga telah mulai mendapat momentum untuk dikembangkan.

Upaya penting keempat adalah memasyarakatkan gerakan konservasi energi, membiasakan masyarakat, temasuk industri, transportasi, dan gedung-gedung pemerintah/swasta menggunakan energi lebih hemat.  Pemerintah (dengan mengajak pihak swasta) segera membentuk Pusat Konservasi, yang akan melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti Pusat Konservasi Energi di Jepang, negeri yang program-program konservasi energinya terunggul di dunia.

Kelima, pemerintah menaikkan harga BBM dan listrik atau mengurangi subsidi mereka.  Mengurangi subsidi BBM/listrik selain baik dari sisi kebijakan energi dan lingkungan, juga akan mengurangi tekanan fiskal yang makin mencengkeram APBN, akan membantu pemerintah membiayai program-program pembangunan lainnya.

Terakhir namun bukan berarti tak penting, mempercepat pengembangan sumberdaya manusia serta memperbaiki kapasitas institusi-institusi kita terkait pembangunan energi.  Daftar permasalahan berkaitan dengan pembangunan ketahanan energi di Tanah Air sudah sangat panjang, dan hal-hal ini tidak mungkin dapat diatasi tanpa ketersediaan sumberdaya manusia yang handal dalam jumlah banyak di bidang-bidang yang berkaitan dengan pembangunan energi. Keberadaan mereka juga secara strategis harus disiapkan! ***


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline