Seorang perempuan mengenakan kimono khas Jepang yang lusuh dan penuh robekan. Ia berlari tergopoh-gopoh menyusuri dedaunan rumput dan pohon-pohon yang menjulang tinggi di tengah belantara. Badannya menggigil, bergetar menahan lapar tatkala dinginya angin malam menyeok perutnya yang kosong. Ia terus berlari melewati gubuk-gubuk, tak jarang pula duri-duri berserakan ia injak hingga kakinya berlumuran darah.
Dalam sebuah pelarian itu, ia terpojok oleh ujung pedang para samurai jepang utusan kaisar di tengah semak belukar. Sebelum akhirnya, ia digelandang bersama pasanganya yang bekerja sebagai pedagang kecil ke tengah desa, karena mereka dianggap melakukan perzinaan. Narasi film yang tersaji pada paragraf sebelumnya merupakan adegan film klasik Jepang di tahun 1954 berjudul The Crucified Lovers besutan Kenji Mizoguchi.
Film tersebut menggambarkan bagaimana romansa kisah kedua pasangan tersebut secara temaram dan puitis. Para laki-laki desa yang telah lama mengetahui hubungan mereka di pedesaan tersebut pun selalu menutupi informasi hubungan mereka berdua kepada para samurai Jepang. Sebab, mereka tahu bahwa hukuman bagi pasangan yang menjalani hubungan diluar pernikahan maka akan dihukum mati. Walaupun pada akhirnya, mereka tetap dieksekusi dengan disalib tubuhnya hingga kematian menjemput.
Pada potongan gambar terakhir film tersebut, kedua pasangan yang telah mati tidak sedikitpun menunjukan raut muka yang nelangsa. Melainkan, mereka mati dengan meninggalkan bekas senyum simetris di kedua bibir pasangan tersebut. Inilah sebuah karya seni yang menggentarkan cakrawala filsafat kala itu. Tak terkecuali filsuf-filsuf Eropa yang memberikan pandangan terhadap produk sinema dekade 50-an asal Jepang.[1]
Dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan di fèmiz, Perancis. Gillese Deleuze mengutip Malraux, menyatakan bahwa seni adalah apa yang melawan kematian.[2] Dititik ini, bidikan kamera pada adegan akhir film tersebut mampu menyajikan sebuah pertanyaan dalam benak kita bahwa cinta juga melawan kematian---Sebuah keterlibatan cinta dan seni dalam pengertian yang tidak selalu dengan mudah dapat dipahami.
Sebuah "senyuman" sepasang kekasih mengisyarakat simbol perlawanan terhadap kematian. Mengapa demikian? Perlu sekiranya kita memahami ungkapan 'situasi filosofis'. Secara singkat, Alain Badiou (2001) menjelaskan kondisi mendasar dari situasi filosofis yang relevan dengan jalan cerita film tersebut sebagai sebuah pengandaian dari pengecualian (exception). Badiou menjelaskan bahwa, tugas filsafat harus memikirkan peristiwa.[3]
Filsafat mengemban tugas untuk mengetahui apa yang tidak biasa. Bahkan, filsafat juga harus memikirkan transformasi kehidupan. Dengan kata lain, filsafat bertanggung jawab atas nilai dari sebuah pengecualian. Nilai dari sebuah peristiwa. Nilai dari pemenggalan pasangan kekasih yang nisbi sekalipun. Ini merupakan tugas besar filsafat dalam kehidupan. Selain tuntutanya untuk menjawab berbagai persoalan dalam ranah akademis.
Jawaban atas Sebuah Ambivalensi
Apa yang dapat sejenak kita bayangkan sebelum kematian menjemput? Mengapa lebih mudah membayangkan akhir dari dunia? ketimbang memikirkan transformasi yang mengakar dari kehidupan sosial? Untuk mengawali jawaban yang akan penulis rangkum, perlu sekiranya bagi pembaca yang budiman untuk melihat ulang butir-butir yang secara lugas dipaparkan dalam tulisan Soe berjudul persimpangan Jalan (2020).
Soe dengan jeli mempreteli narasi sekulerisme sebagai embrio apa itu liberalisme, pluralisme, komunisme, dan feminisme melalui tiga poin krusial yang ia kutip dari buku tokoh idolanya melalui pembacaan ketat terhadap otoritas ala weberian. Namun, sangat disayangkan cara membaca Soe telah gagal menjelaskan formasi sosial dari penelitian Max Weber untuk mendasarkan argumentasinya.
Pertama, ia mendasarkan pembacaanya atas Disenchancement of Nature sebagai pemisahan manusia atas berbagai konsep ketuhanan. Bagi saya, Soe gagal menjelaskan bagaimana konteks sosial dari asal-usul kemunculan gilda-gilda dan terbitnya surat indulgensia yang menjadi relasi dominasi terhadap petani-petani di Eropa sehingga mereka mau bekerja keras kala itu.
Kedua, ia menautkan konsepsi desacralization of politics sebagai penghambat proses perubahan sosial. Hal yang luput dalam membaca konsepsi tersebut ialah Soe tidak menunjukan basis analisa ekonomi untuk mendasarkan argumentasi tentang transisi politik yang bersifat sakral ke profan. Penting untuk diketahui bahwa tesis Weber memiliki analisa asal-usul kemunculan sistem ekonomi yang hari ini kita sebut sebagai sistem perkonomian kapitalisme.[4]