Lihat ke Halaman Asli

Hanan Arasy

everlasting student

Menolak Kembalinya Militer di Urusan Sipil

Diperbarui: 6 Maret 2019   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi penolakan Dwifungsi TNI pada acara AksiKamisan (dok. pribadi)

Setelah meninjau ketidakberdayaan dalam kubu TNI pasca tugas mereka berakhir, pemerintah RI berniat mencanangkan program untuk membuka peluang bagi pensiunan TNI agar mendapatkan jabatan dalam pemerintahan sipil. Kebijakan tersebut adalah bentuk hipokrisi[1] yang mengancam Demokrasi serta mengantarkan kondisi peradaban kita mengalami kemunduran sekitar kurang lebih 20 tahun silam.

Alih-alih "revitalisasi" akibat dari kebijakan yang mengancam, situasi Demokrasi yang seharusnya bertransisi menuju pembaharuan dengan semangat kesetaraan serta keadilan justru terbebani dengan adanya ancaman 'totaliterianisme' dan 'militerisme' yang terbuka untuk kembali ke permukaan Indonesia pada abad 20.

Situasi tersebut sangat penting untuk kita gagalkan demi supremasi sipil, rasionalitas dan mentalitas warga negara.

Lebih jauh, kesejahteraan khalayak umum, bahkan nyawa menjadi halnya taruhan ketika kebijakan di akhir rezim Joko Widodo pada akhirnya harus tunduk pada kekuatan dan kekuasaan pusaran angkatan bersenjata.

Yang Banal: Antara Dahulu dan Esok

Manusia modern akan hidup pada kondisi untuk siap siaga terhadap segala bentuk rutinitas yang begitu padat serta ruwet; mulai dari menumpuknya urusan administrasi kantor hingga tantangan melewati macet di jalan yang begitu menyita waktu.

Di tengah hiruk pikuk dan godaan membelanjakan penghasilan mereka yang cenderung konsumtif pada awal bulan, di sisi lain kehidupan sosial dan bermasyarakat kita, pada akhirnya harus di benturkan oleh satu teologi sejarah kelompok tertentu yang siap menjadi nestapa bagi generasi yang sedang bertahan hidup untuk menghadapi hari esok.

Seperti halnya deretan rumah susun serta rumah padat yang lahannya telah terganti oleh bangunan bertingkat, demi keperluan-keperluan komersil pemangku kepentingan yang tega mengorbankan jeritan penghuninya. Harus dengan apa mereka dapat berlindung dari sengatan terik matahari dan bunyi berisik dari dalam perut yang tak kunjung berhenti?

Nampaknya, pandangan tersebut penting untuk kita ingat kembali dengan pemikiran yang pada akhirnya perlu untuk hadirkan kembali saat ini, sesuai dengan kemungkinan situasi buruk yang akan kita hadapi di depan.

Hannah Arendt, seorang pemikir sosial politik Jerman pada 1964 pernah menulis sebuah laporan berjudul "Eichmann in Jerussalem" yang berisi tentang peristiwa sejarah perang dunia ke-2 pada tahun 1936, yakni saat rezim totaliter Nazi dibawah kekuasaan Adolf Hitler berkuasa.

Dalam laporan tersebut, Arendt, mempublikasikan sebuah kekejaman penguasa dengan menggunakan perangkat administrasi untuk memasukan warga negara Jerman ke dalam 2 bagian yakni berdasarkan ideologi serta agama atau sekte yang dianutnya untuk kemudian mereka digiring kedalam Auschwitz (kamp konsentrasi).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline