Lihat ke Halaman Asli

Hanan Arasy

everlasting student

Hoax dan Simulacra Media

Diperbarui: 1 Juni 2017   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi : Mahesh VO | 2016.

Hari ini, siapa yang tidak mengenal media khususnya internet? kebanyakan dari kita tentu memiliki instrument baik berupa smartphone ataupun gadget lainnya untuk mengakses sebuah layanan internet sehingga mempermudah dan menyederhanakan ukuran kuantitas jarak nampak begitu dekat. Hubungan relasi sosial dan pekerjaan dengan adanya internet membuat kita semakin mudah serta tetap terhubung walau jarak menghalangi kita. Namun, pertanyaanya ialah apakah dengan kehadiran internet apalagi media sosial benar-benar berdampak pada efisiensi didalam essensi kehidupan kita yakni kerja dan interaksi?  atau sebenarnya kita termanipulasi dalam sebuah fantasi homo hoaxicum?  Atau bahkan internet sebagai gelombang pasang informasi pada Generasi Milleniel berujung kesadaran semu?

Homo Hoaxicum

Mengapa kita memilih jalan aman walau keliru untuk berbohong? mengapa hasrat pencapaian kita berubah dari waktu ke waktu? Secara leksikal, Istilah Homo Hoaxicum berasal dari bahasa yunani yang berarti homo atau manusia dan Hoaxicum dari kata hocus pocus dan bertransformasi menjadi hoax yang berarati berkata ‘dusta’. dititik inilah, kita mengetahui bahwa bagaimana manusia didalam struktur sosial (baca : suatu aturan yang mengikat) di masyarakat atau konteks yang melingkupinya memiliki kemampuan untuk tidak mengatakan hal yang sesungguhnya atau kejujuran. Hemat saya, ‘berbohong’.  Meminjam term Michael Foucault seorang filosuf berkebangsaan perancis yang mendefinisikan kehidupan manusia untuk mengabaikan,mengabstraksi,membuat topeng,menyembunyikan atau memproduksi kebenaran yang hanya versi dirinya sendiri.

Menjadi masalah ialah bagaimana ketika kita membayangkan bahwa sifat dasar manusia yang mampu  berdusta itu ditopang oleh suatu arus informasi yang selalu menuntut pembaharuan dari waktu ke waktu. Secara kumulatif, bahwa kebenaran selalu diproduksi-dari waktu ke waktu beriringan dengan pembaharuan tersebut. Pertanyaan selanjutnya, ialah apakah ada kebenaran yang hakiki? tentu saja tidak. karena segala kebenaran adanya ialah politisasi yang sifatnya kontitusional (Lihat : Derrida,1978:230).  dititik inilah kesimpulan bahwa kehidupan kita didunia ialah untuk terus berjalan dari satu titik ke titik lainnya untuk terus berbohong serta menggapai suatu kebenaran yang tidak final!

Simulacra Media

Kita telah berada pada zaman simulasi! begitulah, isi orasi Jean Baudrillard seorang sosiolog ekstrem di era 1980-an. Menurutnya, kita tidak lagi didominasi oleh nilai-nilai produksi seperti kerja. Namun hari ini masyarakat telah dikontrol oleh dominasi media,model sibenetika,sistem pengendalian,komputer,hiburan,industry pengetahuan dan lain sebagainya. Baginya, di zaman simulasi yang beriringan dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan digital tiada suatu hal yang riil atau jangan-jangan segalanya ialah kebohongan dan kebenaran itu sirna seluruhnya.Penjelasan baudrillard mengenai hal tersebut ialah pada tahap simulacra dan hyperreality. 

Saya ambil contoh ketika kita sedang menonton sinetron kita ikut larut sedih kedalam jalan cerita yang dibuat oleh sutradara. Padahal, sinetron hanyalah cerita fiktif. Dititik itulah suatu pergeseran antara yang riil dan yang semu lebur menjadi satu dengan kata lain kabur sehingga kita tidak bisa membedakanya. Ulang dan pinjam Baudrillard, simulacra media dan hyperrealitas. 

Di titik ini, mari kita bayangkan, berapa waktu luang yang kita gunakan untuk mengoperasikan televisi? berapa waktu luang yang kita gunakan untuk menggengam dan mengoperasikan telepon genggam? berapa waktu luang yang kita gunakan untuk berselancar didalam dunia maya atau internet? inilah zaman kebohongan dan kita larut dalam kebohongan tersebut.

Kembalinya yang sosial

Pada dasarnya, internet diciptakan untuk memudahkan manusia dan membuat bumi lebih kecil. namun kenyataanya dunia memang lebih kecil tanpa internet. sebelum adanya internet, manusia berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung didalam kehidupanya masing masing atau didalam kehidupan bermasyarakatnya. kesadaran manusia dalam pembangunan secara matang tertuju pada suatu tatanan material kehidupan nir-maya. Maka, perlu dipertegas bahwa realitas sosial adalah kunci untuk keluar dari pelbagai urusan dunia yang mengaburkan batas-batas yang riil dan yang semu tersebut. kembalinya yang sosial dimaknai bahwa kehidupan maya dalam media massa dan sosial hanyalah bersifat sekunder bukan malah menggantikan aktivitas primer praktik kehidupan sosial kita. 

Karena perubahan dan kebermanfaatan kita tidak bisa diukur dan ditukar hanya dengan basis mikroelektronik bukan? kita membutuhkan kenyataan untuk berinteraksi antar sesama namun bukan berarti kita tersubordinasi oleh teknologi yang pada mulanya kita ciptakan untuk mempermudah kita. Karena yang hakiki tidak akan pernah ada dalam sosial media ataupun media massa. kita tentu tahu, bahwa kebenaran di medium elektronik seperti analogi mie instan; lama kelamaan akan melar dan tidak bisa kita rasakan lagi enaknya. Bahkan, berdampak pada kesehatan kita.  Ingatlah tuan-tuan dan nona-nona, bahwa cinta bukan sekedar basis mikroelektronik atau emoji berserakan….

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline