Female Genital Mutilation (FGM) atau yang dikenal sebagai sunat perempuan merupakan praktik yang telah berlangsung selama berabad-abad di banyak negara, termasuk Indonesia. Meskipun sering dianggap sebagai bagian dari tradisi, budaya, dan syariat agama, FGM sebenarnya menyimpan banyak dampak negatif yang merugikan perempuan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan berbagai lembaga hak asasi manusia dengan tegas menyatakan bahwa FGM adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang harus dihapuskan. Sayangnya, masih banyak kelompok masyarakat yang mempertahankan praktik ini dengan berbagai justifikasi. Namun, di balik itu semua, dampak buruk FGM jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang diklaim (Fauziyah, 2017).
Apa Itu Female Genital Mutilation?
Female Genital Mutilation (FGM) didefinisikan oleh WHO sebagai semua prosedur yang melibatkan pemotongan, pelukaan, atau pengubahan organ genital perempuan untuk alasan non-medis. Praktik ini tidak memiliki manfaat medis dan lebih banyak dilakukan karena dorongan budaya, tradisi, serta pemahaman agama yang keliru. WHO mengklasifikasikan FGM ke dalam empat tipe, mulai dari pengirisan sebagian klitoris (klitoridektomi) hingga pengangkatan total bagian genitalia eksterna dan penjahitan labia (infibulasi). FGM tipe ringan mungkin hanya berupa simbolis, seperti penggoresan, namun tetap berisiko menyebabkan infeksi, nyeri, dan trauma (Sulistyawati & Hakim, 2022).
Di Indonesia, FGM dilakukan dengan berbagai cara yang bervariasi antar daerah. Praktik ini sering dilakukan oleh dukun bayi dengan alat sederhana seperti pisau atau jarum, bahkan oleh tenaga medis seperti bidan meskipun sudah ada larangan resmi dari pemerintah sejak 2006 (Sulistyawati & Hakim, 2022). Meskipun dianggap "lebih ringan" dibanding praktik di Afrika, FGM di Indonesia tetap membawa risiko kesehatan serius dan meninggalkan trauma psikologis. Pemahaman keliru yang menganggap FGM sebagai bagian dari kebersihan atau kesucian perempuan harus diluruskan demi melindungi hak dan kesehatan perempuan.
Landasan Budaya dan Agama: Antara Mitos dan Realitas
Praktik khitan perempuan di Indonesia banyak didasarkan pada alasan budaya dan keagamaan. Masyarakat sering beranggapan bahwa khitan adalah cara untuk "membersihkan" perempuan dari kotoran, menjaga kesucian, serta menekan libido perempuan (Fauziyah, 2017). Dalam konteks Islam, dalil yang digunakan untuk mendukung khitan perempuan berasal dari hadis yang lemah, tidak bersifat qath'i (pasti), serta seringkali diinterpretasikan secara keliru. Tidak ada ayat Al-Qur'an yang mewajibkan sunat perempuan (Hudiyani, 2024).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2008 mengeluarkan fatwa bahwa khitan perempuan adalah makrumah (kemuliaan). Namun, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dalam diskursus terbaru menyatakan bahwa FGM bukanlah ajaran Islam yang wajib dilaksanakan. Sebaliknya, praktik ini bertentangan dengan maqashid syariah, yakni menjaga jiwa, kesehatan, dan martabat manusia (Hudiyani, 2024).
Dampak Buruk FGM: Lebih Banyak Mudarat daripada Manfaat
FGM membawa dampak serius bagi kesehatan perempuan. Secara medis, prosedur ini tidak memiliki manfaat apapun. Sebaliknya, FGM menimbulkan risiko perdarahan hebat, infeksi, dan nyeri yang menyiksa. Proses ini sering dilakukan oleh dukun bayi atau tenaga kesehatan yang tidak memiliki standar medis memadai, sehingga meningkatkan risiko komplikasi. Alat-alat yang digunakan pun sering kali tidak steril, memperparah risiko infeksi. Dalam beberapa kasus, infeksi dapat berujung pada kematian (Rohmah et al., 2018).
Dampak jangka panjang dari FGM juga sangat merugikan perempuan. Bekas luka akibat pemotongan dapat menimbulkan jaringan parut atau keloid yang menyebabkan nyeri kronis. Selain itu, perempuan yang telah menjalani FGM sering mengalami disfungsi seksual karena pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris yang merusak saraf sensitif. Pada saat persalinan, komplikasi serius juga bisa terjadi, seperti robekan jalan lahir dan perdarahan postpartum. Jelas bahwa dari sisi kesehatan, FGM adalah tindakan yang tidak hanya tidak berguna, tetapi juga berbahaya (Istiqomah et al., 2024).
Trauma Psikologis dan Ketimpangan Gender