Pandemi covid yang terjadi pada tahun 2019 menjadi sejarah besar dalam dunia, di mana pandemi covid-19 berlangsung cukup lama hingga menimbulkan banyak dampak negatif. Pandemi covid-19 mengakibatkan terjadinya krisis kesehatan dan ekonomi yang memburuk akibat adanya pembatasan dalam beraktivitas, sehingga pembatasan aktivitas ekonomi ini ternyata mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaan mereka dan mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan di berbagai belahan dunia. Namun pada tahun 2022 seluruh negara yang terkena dampak pandemi covid-19 sudah mulai membaik seiring dengan adanya penemuan vaksin untuk mencegah penularan dan perkembangan covid-19. Pada tahun ini juga setiap sektor ekonomi di berbagai negara sudah mulai kembali pulih dan mulai untuk memperbaiki perekonomian negaranya melalui beberapa kebijakan-kebijakan tertentu. Sayangnya, pada tahun ini juga muncul isu akan adanya resesi di tahun 2023.
Munculnya isu resesi di tahun 2023 dapat di lihat dari kondisi global saat ini, dimana tahun 2023 akan terjadi supply-side shock recession. Inflasi tinggi adalah salah satu penyebab adanya resesi tahun 2023 yang melanda di berbagai negara. Sederhananya, inflasi ini membuat harga barang-barang menjadi semakin mahal. Selain itu mencari pekerjaan baru juga akan lebih sulit karena perusahaan banyak yang melakukan efisiensi atau pengurangan karyawan. Penyebab utama inflasi yang terjadi di berbagai negara di dunia disebabkan oleh tiga hal yakni pandemi covid-19, adanya konflik Rusia dan Ukraina yang tak kunjung usai serta adanya perubahan iklim. Ketiga hal inilah yang membuat harga minyak mentah dunia melambung tinggi dengan begitu secara otomatis harga pangan dan komoditas energi pun ikut melonjak yang mana pasti di ikuti dengan harga barang dan jasa yang juga semakin mahal. Maka jika sudah terjadi hal-hal tersebut tentunya bank sentral di seluruh negara harus melakukan upaya untuk menstabilkan inflasi yakni dengan cara menaikkan suku bunga acuan. Dengan mengambil upaya ini harapannya bunga deposito dan imbal hasil surat berharga juga akan naik sehingga menarik minat masyarakat untuk berbondong-bondong menyimpan uangnya di bank dibandingkan untuk dikonsumsi. Jika sudah begini, maka peredaran uang di masyarakat jadi berkurang dan permintaan terhadap barang akan menurun mengikuti harga yang ikut turun sehingga pada akhirnya tingkat inflasi diharapkan juga menurun. Dalam proyeksi ekonomi global 2023 yang dikeluarkan IMF, resesi tak hanya akan menggerus negara maju tapi juga negara miskin dan negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena beberapa hal, yang pertama karena bank sentral Amerika the fed pasti akan menaikkan suku bunga acuan untuk meredam inflasi ini, pastinya imbal hasil atau bunganya juga akan semakin meningkat. Dengan begini secara otomatis para investor asing yang berinvestasi di Indonesia akan memilih menarik dananya dan memindahkan dananya ke Amerika Serikat fenomena ini disebut juga dengan capital outflow. Yang ke dua, karena semakin banyak investor yang menaruh dananya di Amerika Serikat maka dolar Amerika akan semakin kuat yang mana membuat rupiah melemah bahkan membuat nilai tukar rupiah diprediksi menembus 16.000 per Dollar Amerika. Ketiga, inflasi di Indonesia juga sudah melampaui target Bank Indonesia September 2022 di mana inflasi Indonesia mencapai 5,95% padahal targetnya di tahun ini sekitar 2 sampai 4%. Kemudian yang keempat, tentunya ada kaitan dengan pandemi covid-19. Pada saat pandemi 2020 masyarakat Indonesia melakukan penghematan akibatnya daya beli menurun dan banyak PHK yang terjadi di berbagai perusahaan padahal konsumsi rumah tangga ini sangat mendukung lebih dari 50% pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam laporan IMF pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 masih diproyeksi positif atau tumbuh sekitar 5%, bahkan secara keseluruhan negara berkembang di proyeksi tumbuh positif 3,6% di 2023 namun IMF tetap memperingatkan bahwa negara berkembang akan mengalami inflasi yang tinggi yakni mencapai 9,9% di tahun ini dan menurun ke-8,1% di tahun depan. Tentunya ancaman resesi sudah di depan mata. Maka bank sentral mengeluarkan beberapa kebijakan yaitu dengan mengeluarkan kebijakan moneter, Kebijakan moneter Bank Indonesia pada 2023 akan difokuskan pada stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pengendalian inflasi agar kembali ke sasaran lebih awal sebagai bagian dari langkah mitigasi terhadap dampak rambatan gejolak global, serta dukungan terhadap stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan. Bank Indonesia 4.0 akan secara konsisten melanjutkan responskebijakan suku bunga melalui kalibrasi secara terukur (well-callibrated), perencanaan yang matang (well-planned), dan komunikasi secara transparan (well-communicated) untuk memastikan tercapainya sasaran inflasi inti lebih awal yaitu pada awal 2023. Besaran dan waktu respons kebijakan suku bunga tersebut didasarkan pada perkembangan ekspektasi inflasi dan inflasi inti, dibandingkan dengan perkiraan awal dan sasaran yang akan dicapai (data dependent), kemudian adanya kebijakan sistem pembayaran, dan digitalisasi sistem pembayaran berdasarkan Blueprint. Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 yang satu bahasa, satu bangsa dan satu nusa terus didorong untuk mengakselerasi integrasi ekonomi dan keuangan digital, kerja sama sistem pembayaran antar negara, serta tahapan pengembangan Digital Rupiah sebagaimana “white paper" yang juga diluncurkan pada penyelenggaraan PTBI 2022. Selanjutnya, di harapkan agar masyarakat mengelola uang cash dengan lebih baik, siapkan dana darurat, hindari hutang dan segera lunasi cicilan secepat mungkin karena dengan naiknya suku bunga acuan maka bunga cicilan kita juga akan naik sehingga cicilan kita akan semakin membengkak lalu untuk berinvestasi sebaiknya letakkan di produk sehat yang mudah dicairkan seperti logam mulia karena perekonomian global tidak bisa diprediksi. Bagi para karyawan sebaiknya untuk menunda keinginan untuk resign dari tempat kerja karena pada saat terjadi resesi tahun 2023 maka akan sulit untuk mencari pekerjaan. Namun jika terjadi resesi bukan berarti masyarakat harus sehemat mungkin karena jika tidak ada daya beli pada tahun 2023 maka roda perekonomian akan sulit berjalan akibat tidak adanya pemasukan.***
Hana Joyana Gultom, Universitas Palangkaraya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H