oleh : Iqbal Hanafi
Saat ini tidak satu pun aspek kehidupan yang tidak dihubungkan dengan agama mulai dari perasaan bahagia, pekerjaan, bencana alam bahkan hingga pertarungan politik semuanya diatasnamakan agama.
Di zaman Soekarno dulu, dikatakan politik adalah panglima; di zaman soeharto, ekonomi adalah panglima; sekarang, agama adalah panglima. Tapi satu hal yang akan langsung menimbulkan cibiran, kutukan bahkan sampai persekusi adalah jika kita memasukkan nama 'Karl Marx' dalam kata agama.
Banyak yang beranggapan bahwa Marx anti agama sehingga tidak relevan untuk menghubungkannya dengan agama. Benarkah demikian? "Agama adalah opium masyarakat" adalah salah satu kalimat termasyhur yang sering disitir orang jika berbicara tentang Marx dan agama. Pernyataan lengkapnya berbunyi : "Agama adalah keluh kesah dari masyarakat yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berhati dan jiwa dari keadaan tidak berjiwa. Agama adalah candu masyarakat." Pernyataan ini mengungkapkan agama sebagai ekspresi penderitaan manusia di bumi sekaligus ungkapan protes atas penderitaan tersebut.
Di zaman Marx masih hidup, yaitu di kehidupan abad ke-19, opium (candu) berkonotasi positif. Opium adalah obat murah untuk para kelas pekerja saat itu dan banyak gunanya, tidak seperti sekarang yang melulu negatif jadi sumber penyakit dan digunakan sebagai aneka ketagihan buruk lainnya. Yang jarang diketahui orang adalah bagaimana Marx sangat menghargai eksistensi agama dalam kehidupan manusia sebagai sesuatu yang besar dan berpengaruh. Di saat yang sama Marx berpendapat bahwa kekuatan agama yang besar tersebut bisa membentuk ilusi kebahagiaan di benak dan pikiran manusia dan jadi semacam opium bagi orang-orang yang sakit sebab bisa meredakan rasa sakit dan sengsara, dan inilah Poin yang disorot Marx dengan kritis, tentang ilusi kebahagiaan yang bisa melemahkan semangat perlawanan kaum tertindas terhadap kelas di atasnya yang opresif (Red. Menindas) dan menghasilkan masyarakat sebagai orang yang tanpa hati dan jiwa.
Kritisi Marx pada agama ini sekali lagi tidak bearti menentang keberadaan agama, tetapi justru sebaliknya mendukung keberadaannya.
Marx malahan mempertanyakan adanya hubungan kotor antara pemuka agama dengan pemegang kekuasaan yang terjadi di ranah agama dan politik Eropa pada abad ke - 19. Marx sadar dan gerah dengan fakta bahwa kaum elit dan penguasa itu menggunakan agama untuk memobilisasi rakyat demi kepentingan mereka sendiri.
Persepsi yang buruk tentang hubungan Marxisme dan agama itu diakibatkan gambaran yang ditarik dari pembacaan setengah-setengah atas sejarah yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H