Lihat ke Halaman Asli

Urbanisasi Penyebab Permukiman Kumuh di Indonesia

Diperbarui: 20 Desember 2020   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masalah urbanisasi memang menjadi perhatian banyak orang hingga saat ini. Pada umumnya, urbanisasi terjadi karena faktor ekonomi, adanya perbadaan pendapatan di wilayah perdesaan dan di wilayah perkotaan. Beberapa penelitian, seperti dikutip Hendrizal (2004) menemukan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan migran di perkotaan –walau pekerjaan kasar dan dianggap rendah sekali pun– tetap dapat memberikan penghasilan yang lebih baik dibandingkan penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan-pekerjaan di desa. Pemulung dan penyemir sepatu, contohnya, bisa mendapatkan penghasilan dua sampai tiga kali lebih besar daripada penghasilan mereka sebagai buruh tani di desa.

Jika setiap orang memiliki pemikiran “walau pekerjaan kasar dan dianggap rendah sekali pun– tetap dapat memberikan penghasilan yang lebih baik” maka urbanisasi di Indonesia akan terus meningkat setiap tahunnya, dan hal tersebut akan menyebabkan terjadinya permukiman yang kumuh. Kenapa seperti itu? Karena penduduk yang melakukan urbanisasi harus membangun tempat tinggal untuk mereka tinggal, sedangkan lahan di kota hanya memiliki lahan yang sedikit, jika pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun semakin meningkat, maka pembangunan di daerah tersebut menjadi tidak teratur dan menyebabkan permukiman yang kumuh di daerah tersebut.

URBANISASI

Urbanisasi merupakan salah satu gejala yang banyak menarik perhatian karena tidak hanya berkaitan dengan masalah demografi, tetapi juga mempunyai pengaruh penting terhadap proses pertumbuhan ekonomi (Davis, 1987, Pernia, 1984). Dengan kata lain, perekonomian dapat tercermin melalui jumlah penduduk dan pendapatan perkapita di suatu negara.

Malthus menyebutkan tiga faktor penyebab terjadinya laju pertumbuhan penduduk seperti, kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan migrasi (perpindahan penduduk). Jumlah penduduk Indonesia pada saat ini menempati urutan ke-4 dari total penduduk dunia, dan jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan terus mengalami peningkatan. Proyeksi penduduk tahun 2020 menyebutkan bahwa akan terdapat 23 kota yang memiliki jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa, 11 kota terdapat di Pulau Jawa dan 5 dari 23 kota tersebut berpenduduk di atas 5 juta jiwa (Prijono dkk, 2002).

Salah satu motivasi seseorang untuk berpindah ke kota (urbanisasi) adalah motif ekonomi (Todaro,1979). Harapan yang ingin diperoleh dari migrasi ke perkotaan adalah pekerjaan dan pendapatan yang tinggi yang bisa diperoleh di perkotaan. Pesatnya pertumbuhan industri dan sektor perdagangan secara langsung menyebabkan tingkat upah di kota lebih tinggi dibandingkan upah di pedesaan yang umumnya bergerak dalam bidang pertanian. Di samping itu, sempitnya lapangan pekerjaan, fasilitas dan infrastruktur yang tidak memadai juga mendorong terjadinya migrasi ke perkotaan. Tingkat urbanisasi yang tinggi di suatu negara dapat mengindikasikan tingkat perekonomian yang tinggi. Demikian juga, sebaliknya. Tingkat perekonomian yang tinggi pada suatu negara umumnya dapat mendorong terjadinya pembangunan negara tersebut.

PEMUKIMAN KUMUH

Pemukiman kumuh (slum area) adalah pemukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian, baik secara teknis maupun nonteknis. Tjuk Kuswartojo (2005: 184) mengatakan, pemukiman kumuh, yaitu pemukiman yang padat, kualitas kontruksi rendah, prasarana dan pelayanan pemukiman minim merupakan akibat dari kemiskinan.

Banyak yang sudah sepakat bahwa permukiman kumuh itu ditempati oleh masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat yang miskin, walaupun memang masih terdapat pengecualian dan keadaan  khusus. Banyak cara yang sudah dipikirkan agar dapat menangani masalah permukiman yang kumuh, tetapi setiap penanganan tersebut tidak sendirinya menolong penduduk yang miskin, karena penangan tersebut hanya sekadar untuk memperindah wajah kota. Penanganan yang dimaksud adalah mengganti permukiman kumuh dengan rumah susun.

Telaah tentang permukiman kumuh (slum), pada umumnya mencakup tiga segi, yaitu kondisi fisiknya, kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di pemukiman tersebut, dan dampak oleh kedua kondisi tersebut. Pertama. Kondisi fisik tersebut tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi, serta sampah belum dikelola dengan baik. Kedua. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan pemukiman kumuh antara lain mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan kota keseluruhannya. Oleh karena itu, kawasan pemukiman kumuh dianggap sebagai penyakit kota yang harus di atasi.

Kriteria permukiman kumuh menurut Avelar et al. (2008 : 56), karakteristik permukiman kumuh mempunyai kondisi perumahan dengan kepadatan tinggi dan ukuran unit perumahan relatif kecil, atap rumah di daerah kumuh biasanya terbuat dari bahan yang sama dengan dinding. Karakteristik pemukiman kumuh yang paling menonjol adalah kualitas bangunan rumahnya yang tidak permanen, dengan kerapatan bangunan yang tinggi dan tidak teratur, prasarana jalan yang sangat terbatas kalaupun ada berupa gang-gang sempit yang berliku-liku, tidak adanya saluran drainase dan tempat penampungan sampah, sehingga terlihat kotor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline