Dalam pernikahan, nafkah merupakan hak istri dan anak-anak yang harus terpenuhi seperti makanan, pakaian, dan kediaman, serta beberapa kebutuhan lainnya. Dalam Islam, perkara perceraian, istri yang ditalak memiliki hak untuk meminta nafkah dari mantan suami. Nafkah iddah, nafkah mut'ah, nafkah madhiyah dan nafkah hadhanah adalah empat jenis nafkah yang dikenal dalam perkara perceraian.
Nafkah Iddah
Nafkah iddah dapat diperlakukan sebagai peristiwa hukum yang saling berkaitan dengan hak pengucapan ikrar talak. Keberadaan talak mempengaruhi masa iddah dan kebutuhan istri yang dicerai, sehingga nafkah iddah harus diperlakukan sebagai bagian dari hak istri yang harus diberikan oleh suami.
Dalam Pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga menentukan bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada istri yang masih dalam masa iddah setelah perceraian. Nafkah ini berupa biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri, seperti nafkah iddah, maskan, kiswah yang layak selama menjalani masa iddah atau menurut putusan pengadilan.
Nafkah Mut'ah
Dalam beberapa kasus, istri yang ditalak juga dapat meminta nafkah mut'ah sebagai penghibur untuk mengatasi penderitaan yang dialami karena perceraian yang telah diartikan dalam Hukum Islam. Tidak ada nash yang menentukan kadar dan jenis mut'ah, sehingga para fuqaha melakukan ijtihad dalam menentukan kadarnya. Mazhab Hanafi menentukan kadar mut'ah adalah tiga buah baju, rompi (baju yang dikenakan orang perempuan di atas baju), kerudung, jubah yang digunakan perempuan untuk menutupi tubuhnya dari bagian kepala hingga kaki.
Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat, mut'ah sebaiknya tidak kurang dari 30-dirham atau barang lain yang senilai, dan ini adalah nilai paling rendah. Mut'ah tertinggi adalah memberikan pembantu dan yang ditengah-tengah adalah memberikan dan sunnahnya mut'ah itu tidak boleh melebihi separuh nilai mahar mitsil. Dan menurut mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa pemberian mut'ah dilihat dari kondisi suami kaya atau miskin. Orang yang kaya sesuai dengan kadarnya sedangkan orang miskin juga sesuai kadarnya.
Menurut Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) berisi ketentuan tentang kewajiban suami terhadap istri setelah perceraian. Dalam Pasal 149 huruf (a), disebutkan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla ad dukhul. Qabla ad dukhul artinya belum berlangsung hubungan seksual antara keduanya.
Nafkah Madhiyah
Nafkah yang berupa nafkah masa lampau, dapat juga diminta oleh istri yang ditalak jika nafkah tersebut tidak dilaksanakan oleh mantan suami sewaktu keduanya masih berada dalam perkawinan yang sah.
Dalam beberapa kasus, nafkah madhiyah dapat diperlakukan sebagai peristiwa hukum yang saling berkaitan dengan hak pengucapan ikrar talak. Keberadaan talak mempengaruhi masa iddah dan kebutuhan istri yang dicerai, sehingga nafkah madhiyah harus diperlakukan sebagai bagian dari hak istri yang harus diberikan oleh suami.
Nafkah madhiyah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat 7, yang menerangkan bahwa kewajiban seorang suami untuk memberikan nafkah, kiswah (pakaian), tempat kediaman bagi istri dapat gugur apabila istri terbukti berbuat nusyuz. Namun, apabila istri tidak berbuat nusyuz, maka suami wajib membayar nafkah madhiyah yang terhutang.
Nafkah Hadhanah
Nafkah hak pemeliharaan atas anak yang belum mumayyiz (yang belum berusia 12 tahun) atau anak yang telah berumur 12 tahun atau lebih namun memilih dipelihara oleh ibunya. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), hak asuh anak tak jauh berbeda dengan yang dikemukakan dalam literatur hukum Islam atau fiqih.