Pemberitaan mengenai kekerasan dan pelecehan terhadap pekerja rumah tangga akan tetap menjadi kejadian luar biasa, meskipun bukanlah hal langka. Hak asasi mereka direnggut dari berbagai aspek meliputi psikis, fisik, dan ekonomi. Profesi ini memang sangat rentan, karena berkaitan pula dengan stigma perempuan di mana harus selalu tunduk dengan perintah laki-laki, bahkan sesama, dengan catatan dia merasa memiliki derajat lebih tinggi.
Pekerja rumah tangga sangat rentan tidak diperlakukan dengan baik sebab profesi ini dianggap hal remeh tanpa kemampuan khusus, tingkat pendidikan rendah, dan perbedaan preferensi antara kedua belah pihak. Namun, itu semua tidak akan terjadi apabila mereka bisa berkomunikasi dengan baik, sehingga kesalah pahaman dapat dihindari. Sebelum mulai bekerja, lebih baik mereka melakukan diskusi ringan perihal daftar 'iya' dan 'tidak' dalam keluarga.
Mengacu pada UU nomor 13 tahun 2003, pekerja rumah tangga tidak diakui sebagai sebuah profesi. Selain itu, RUU perlindungan pekerja rumah tangga masih menemui jalan buntu di DPR RI sejak 2004, karena dua partai besar tidak memberikan persetujuan. Selama belum ada payung hukum, kemungkinan pemberi kerja dalam melakukan kekerasan dan pelecehan pun akan selalu mengikuti. Tidak jarang pula mereka terbebas dari tuntutan setelah naik banding.
Pada tahun 2019, International Labor Organization (ILO) melakukan konferensi penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja serta rekomendasi 206. Indonesia selaku salah satu anggota PBB mengirimkan perwakilan meliputi pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja untuk mengikuti forum di Jenewa, Swiss, tersebut. Namun, belum ada ratifikasi sampai saat ini, sehingga hukum belum bisa ditegakkan. Padahal, sebutan pahlawan devisa negara untuk pekerja rumah tangga di luar negeri begitu dielu-elukan tentang sumbangsih pendapatan negara, tetapi mengapa dari segi perlindungan masih kurang?
Dilansir dari Jaringan Nasional Advokasi PRT (JALA PRT), sebanyak 400 PRT diperlakukan tidak manusiawi. Menurut survei pada Agustus 2021, 82% dari 868 orang bahkan tidak memiliki jaminan sosial. Upah mereka pun hanya 20-30% dari nominal minimum provinsi. JALA PRT menambahkan, pada tahun 2022 jumlah pekerja sudah mencapai lima juta orang. Jumlah masif ini mendorong Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja untuk melakukan konferensi pada 7 Februari 2022, dengan mengundang pers dan sejumlah PRT agar RUU perlindungan segera disahkan.
Terlepas dari payung hukum sebagai sarana penegak keadilan, menguak urgensi peran PRT sebagai bentuk kontemplasi terhadap kekerasan dan pelecehan dapat membangun kesadaran pemberi kerja agar memperlakukan mereka dengan baik. Langkah ini sedikit banyak dapat menggugah rasa kemanusiaan, sehingga mampu membentengi diri. Oleh karena itu, coba renungkanlah peran krusial mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Memelihara Kondisi Mental
Mencuci, menyetrika, dan memasak adalah kegiatan monoton dan cukup melelahkan. Jangankan bagi wanita karier, ibu rumah tangga saja kerap mengeluh. Belum lagi ketika anak- anak mereka rewel. Membagi waktu untuk dua prioritas tidaklah mudah, sehingga emotional bag akan sedikit demi sedikit terisi, lalu meledak setelah tidak bisa lagi menampung. Hal ini terkesan sepele, tetapi menjaga kondisi mental akan sangat berpengaruh untuk mencegah rasa uring- uringan, bahkan depresi. Oleh karena itu, peran asisten sangat patut diapresiasi dengan baik.
Mereka memiliki motivasi berbeda dalam bekerja, sehingga tingkat stres akan lebih rendah. Namun, perlu menjadi catatan juga bahwa mereka tetaplah manusia. Berilah mereka tugas dengan wajar untuk menghilangkan praktik perbudakan modern.