Tahun lalu membuat saya tertekan. Saya tengah berjuang lepas dari bayang-bayang impostor syndrome. Keadaan dan lingkungan terasa semakin memberatkan.
Tetapi saya beruntung, dapat menemukan buku yang sangat merepresentasikan hal tersebut. Sebuah novel berjudul A untuk Amanda. Saya memang banyak belajar dari buku.
Impostor syndrome adalah keadaan di mana seseorang meragukan kemampuan diri sendiri. Pencapaian yang dia dapat seolah-olah hanyalah sebuah keberuntungan.
Lebih-lebih, dia takut kalau suatu saat orang lain menganggapnya sebagai penipu. Tampak cemerlang, tetapi sebenarnya tidak bisa apa-apa.
Sindrom tersebut bukanlah sebuah gangguan jiwa, karena semua orang pasti akan mengalami setidaknya sekali dalam hidup. Namun, kalau berlangsung dalam waktu lama seperti yang saya alami, maka sangat berpotensi menyebabkan depresi.
Ada banyak penyebab seseorang mengalami impostor syndrome, tetapi yang paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga yang menuntut kesempurnaan dan kepribadian ambisius yang mendambakan kesempurnaan. Apakah yang terjadi pada saya disebabkan oleh kedua faktor tersebut? Tidak.
Keluarga saya tergolong cukup santai, tidak memaksa anaknya harus begini dan begitu. Lalu, ambisius? Tidak juga.
Saya tipe orang realistis dan tidak menyukai kenaifan. Saya memandang kehidupan bukanlah sesuatu yang mudah dijalani. Ketika seseorang mengetahui banyak hal, bukan berarti mudah menjalani kehidupan.
Faktor yang menimbulkan impostor syndrome pada diri saya adalah kurangnya penghargaan. Dalam lingkup pertemanan, saya merasa pendapat saya tidak dipertimbangkan. Saya merasa bergaul dengan orang yang ingin dominan. Itu sangat mengganggu psikis saya.
Ada banyak hal dalam pikiran saya, tetapi saya terpaksa harus bungkam. Saya tidak ingin apa yang saya sampaikan berakhir sia-sia oleh penolakan.
Pikiran-pikiran yang tidak tersampaikan itu akhirnya menumpuk seperti sampah. Padahal, saya harus mengungkapkannya dengan berbagai alasan. Terlebih lagi, sebenarnya saya punya kapasitas untuk itu.