Lihat ke Halaman Asli

"Time to Talk Day", Gerakan untuk Mengakhiri Diskriminasi Kesehatan Mental

Diperbarui: 4 Februari 2019   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di luar negeri, atau lebih tepatnya London, ada sebuah gerakan bernama 'Time to Talk Day.' Saya berkata demikian lantaran hanya negara tersebut yang tampak gembar-gembor terhadap hal tersebut.

Untuk pelaksanaannya sendiri, saya mendapati kebingungan. Tahun lalu, saya mengikutinya bersama sebuah organisasi bernama 'Time to Change' pada 1 Februari. Sementara saya lihat di situs resmi pemerintahan London, gerakan tersebut jatuh pada 7 Februari. Lain ladang lain belalang. Ada pula yang menetapkannya besok.

Sesuai tajuk, gerakan 'Time to Talk Day' bertujuan untuk mengakhiri diskriminasi terhadap kesehatan mental. Setiap orang yang 'sakit,' diajak mengutarakan apa yang dia alami selama ini. Mereka dituntut berani membeberkan 'luka' itu, lantas mendapatkan semacam dukungan moral dari penggerak.

Di negaranya sana, ada pertemuan khusus saat gerakan tersebut berlangsung. Pihak berkompoten dihadirkan sebagai pendamping. Namun, orang di seluruh dunia berhak mengikutinya juga dengan menuliskan kisah hidup mereka di media sosial yang digunakan penggerak. Jika dilakukan secara masif, isu kesehatan mental akan menjadi perbincangan hangat, sehingga lebih banyak mendapat perhatian.

Tahun lalu saya berpartisipasi dengan menuliskan kisah hidup saya sebagai penderita disleksia. Bagaimana saya diperlakukan dengan tidak baik gara-gara saya sangat susah menghafal jalan dan kesulitan dalam mengekspresikan gagasan melalui oral. Saya dianggap merepotkan dan bodoh. Padahal, disleksia tidaklah seburuk itu. Di balik kekurangan, ada segudang kelebihan yang menyertai.

Memang lumrah jika orang yang tidak mengenal kita dengan baik bicara seenaknya sendiri. Apalagi, awam terhadap sesuatu (disleksia). Dengan adanya gerakan ini dan akhirnya mereka tahu, apakah muncul empati?

Selain mempunyai disleksia yang menjadikan saya terasa berbeda dari yang lain, saya memang merasa menjadi orang yang berbeda dari sekitar. Terang saja, setelah tes kepribadian, hasil menunjukkan kalau saya seorang INFJ, tipe kepribadian yang sangat jarang, kurang dari satu persen di dunia.

 Tidak heran jika saya dipandang aneh. Bukan masalah sebenarnya. Terserah orang lain menilai saya, toh saya tahu kalau apa yang saya lakukan tidak salah. Hanya saja, INFJ adalah tipe kepribadian yang rumit. Misalkan saja, orang-orang memandang sebuah perkara terasa biasa, tetapi bagi INFJ itu menyakitkan. Parahnya, malah dicap lebay.

INFJ seolah-olah menjelma sebagai kaum minoritas yang kurang bisa dimengerti oleh sekitar. Dalam pergaulan, kita memang tidak bisa memaksa orang lain untuk mengerti. Hanya saja, dengan mengetahui fakta ini, seseorang dapat lebih menjaga sikap dan ucapan.

Tidak ada yang bisa melakukan permintaan ingin mendapatkan tipe kepribadian apa, yang sekiranya terbaik. Maka, perlakukanlah orang lain dengan adil, sesuai dengan bagaimana dia bersikap.

Meski INFJ terasa sangat berbeda, dia tetaplah manusia yang menginginkan kehidupan terbaik. Cenderung susah dimengerti, bukan serta merta ingin menyusahkan, hanya saja itu adalah respons terhadap perlakuan orang lain yang sebenarnya tidak enak di hati. INFJ perasa dan selalu menuntut keadilan. Haknya selalu dikesampingkan, tapi justru dinilai egois.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline