Lihat ke Halaman Asli

Pekan Budaya Tionghoa, Bukti Keberagaman Yogyakarta

Diperbarui: 9 Februari 2019   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : kompas.com

Merayakan imlek alias Tahun Baru Cina sudah jadi agenda rutin di Indonesia. Meski begitu, sejarahnya memang tidak instan. Di masa Orde Baru, ada regulasi ketat yang melarang masyarakat Tionghoa untuk merayakan budaya etnisnya secara terang-terangan di muka umum. 

Larangan tersebut tertuang dalam Inpres No. 14/1967 tentang larangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Memang bukan berarti dilarang untuk dirayakan, namun perayaan atas agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina hanya boleh dilakukan di ruang tertutup di lingkungan keluarga inti, tidak boleh terlihat secara terbuka di depan umum.

Namun, hal itu berubah sejak mulainya reformasi. Presiden Habibie dalam masa pemerintahannya yang singkat menerbitkan Inpres No. 26/1998 yang intinya membatalkan inpres sebelumnya yang bersifat diskriminatif.

Kemudian ketika Gus Dur menjabat, ia bertindak lebih jauh lagi. Dikotomi istilah antara pribumi dan nonpribumi ditiadakan, karena toh tidak ada orang yang keturunan asli Indonesia, karena bangsa Indonesia umumnya adalah perpaduan dari etnis Melayu, Astro-Melanesia, dan China.

Gus Dur pun melakukan penyebutan "orang" dan bukan suku, seperti orang Jawa (etnis Jawa), orang Melayu (etnis Melayu), orang Tionghoa, dan semuanya adalah orang Indonesia.

Cucu pendiri NU Kiai Hasyim Asy'ari yang sejak lama dikenal sebagai pluralis itu menganulir Inpres No. 14/1967 dengan menerbitkan Inpres No. 6/2000. Sejak itulah, komunitas Tionghoa bebas kembali menjalankan kepercayaan dan budayanya.

Inpres yang terbit pada 17 Januari tersebut membawa suka cita yang telah lama surut. Tahun baru Imlek tahun itu, yang jatuh pada 5 Januari, dirayakan dengan cukup megah di kompleks Museum Fatahillah Jakarta. Setahun kemudian, dengan Keppres No. 19/2001 Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.

Dengan kebijakan-kebijakan inklusif itu tak lewah jika kemudian pada 10 Maret 2004---bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie---masyarakat Tionghoa di Semarang menyematkan julukan "Bapak Tionghoa" kepada Gus Dur.

Hingga akhirnya pada hari ini, orang Tionghoa di Indonesia bisa merayakan imlek beserta segala ritual agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya dengan bebas.

Lebih dari itu, di Yogyakarta sendiri bahkan diadakan acara tahunan untuk merayakan imlek sekaligus mengapresiasi budaya tionghoa. Acara tersebut adalah Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta yang diadakan bertepatan dengan tahun baru imlek. Acara ini diselenggarakan tiap tahunnya di daerah Ketandan, sebuah lokasi chinatown legendaris di Yogyakarta.

Dalam Pekan Budaya Tionghoa ini, diadakan berbagai macam acara menarik, seperti karnaval budaya, pameran batik peranakan, pameran potehi, pertunjukan barongan, lomba bahasa mandarin, hingga kompetisi Koko-Cici Jogja 2019.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline