Mengasosiasikan Yogyakarta dengan batik memang cukup lumrah. Membeli batik ketika berkunjung ke kota gudeg ini, apalagi di Jalan Malioboro, sudah jadi kewajiban tersendiri. Rasanya kurang lengkap kalau belum beli batik jika berwisata ke Jogja. Baik membelinya di Malioboro, ataupun mendapatkannya di tempat khasnya sendiri di Imogiri, Bantul.
Namun, sebenernya bukan hanya batik yang menjadi harta karun keindahan kain tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada lagi kain tenun, yang juga memiliki ciri khas tersendiri di Yogyakarta. Dibuat secara tradisional dengan Alat Tenun Bukan Mesin, dengan pengetahuan seni yang diturunkan secara turun-temurun dari ibu ke anak perempuannya, dari generasi ke generasi, membuat tenun Yogyakarta begitu unik dan berbeda.
Tenun di Yogyakarta secara umum bisa dibedakan dari bentuk dan ukurannya. Jika ia memiliki lebar bermeter-meter panjangnya, sehingga menyerupai selimut, maka itu adalah kain tenun lurik.
Jika ia memiliki lebar kurang dari 20 atau 30 sentimeter, dan memanjang terus secara vertikal hingga memanjang sepanjang-panjangnya, maka ini adalah kain tenun stagen. Tenun stagen tradisional umumnya dipakai oleh wanita dewasa untuk mengikat perut. Ini dilakukan untuk dipadankan dengan kebaya, atau dipakai oleh wanita yang baru melahirkan untuk menahan kulit perut yang melar hingga normal kembali.
Seiring dengan waktu, tenun khas Yogyakarta ini menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan, baik lokal, nasional, bahkan internasional. Bentuk kain tenun kecil, sederhana, tapi indah, sangat cocok untuk dibawa sebagai oleh-oleh. Apalagi, dari segi motif warna, kain tenun stagen banyak yang sudah memiliki motif berwarna-warni moderen.
Ditambah lagi, kain tenun stagen banyak yang dikreasikan oleh pengrajin menjadi berbagai barang aksesoris moderen beraksen tradisional. Seperti dompet, gelang, gantungan kunci, tas kecil, dan lain sebagainya. Meski barang-barang ini moderen, namun aksen etnik tradisionalnya tetap terasa.
Kain tenun stagen seperti ini dapat ditemukan di daerah Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman. Tepatnya di Desa Gamplong dan Desa Sumberarum. Kedua desa ini memang sudah menjadi desa wisata tenun sejak lama. Di sana, anda bisa temukan puluhan wanita yang menenun untuk menyambung hidup. Desa Sumberarum umumnya membuat tenun stagen, Desa Gamplong umumnya membuat tenun lurik. Kedua desa tersebut juga mengolah kain tenunnya menjadi berbagai pernak-pernik aksesoris cantik dan etnik.
Tidak hanya membeli tenun, anda juga bisa memesan tur lokakarya tenun di Desa Sumberarum. Dengan membawa rombongan sebanyak minimal sepuluh orang, anda bisa berkeliling desa, melihat proses pembuatan tenun, bahkan mencoba memakai alat tenun itu sendiri. Jika anda tertarik, bisa menghubungi saya di nomor WA 081231425090 (Hamzah).
Begitulah Yogyakarta, tempat yang begitu kaya harta karun budaya yang luhur. Alangkah baiknya jika provinsi ini memiliki pemimpin yang juga punya visi dalam menjaga dan melestarikan budayanya. Pada tahun 2019 nanti, Daerah Istimewa Yogyakarta akan memilih 8 orang DPR dan 4 orang DPD. Dari calon DPD DIY, ada nama Bambang Soepijanto, yang memiliki visi mempertahankan dan merawat budaya Yogyakarta sebagai World Heritage. Semoga saja mimpi itu benar-benar terwujud, dan budaya Yogyakarta semakin dikenal masyarakat Indonesia, bahkan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H