Pada tahun 2014 silam, terjadi huru-hara di Kabupaten Bogor. KPK menangkap Komisaris Utama PT Bukit Jonggol Asri (BJA) Kwee Cahyadi Kumala dan Komisaris PT BJA, Haryadi Kumala, terkait dugaan tindak pidana suap yang melibatkan Bupati Bogor Rachmat Yasin.
Penangkapan ini dilakukan setelah KPK menangkap tangan Yohan Yap, utusan dari BJA yang menjadi pelaksana pemberi suap, sedang memberikan uang pada Muhammad Zairin, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor yang bekerja untuk Bupati Rachmat Yasin.
Ceritanya bermula ketika PT. BJA hendak melakukan konversi hutan lindung menjadi daerah pengembangan perumahan dengan sistem tukar lahan. Artinya hutan yang akan dijadikan daerah pengembangan akan ditukar dengan membuat daerah hutan di daerah lain. Hal ini memang sah dan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.32/Menhut-II/2010 jo. P.41/Menhut-II/2012 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan.
Menurut Dirjen Planologi Kehutanan Kemenhut saat itu, Bambang Soepijanto, untuk pulau Jawa, tukar-menukar kawasan ini punya syarat yang tidak mudah. Pertama, untuk pulau Jawa yang hutannya hanya 22 persen, rasio menukar kawasan harus dilakukan dengan perbandingan 1:2.
Artinya, kawasan yang menjadi pengganti hutan harus dua kali lipat dari kawasan hutan yang akan dikonversi pengembang. Kedua, proses ini harus mendapat rekomendasi dari bupati setempat, baik bupati tempat lahan akan dikonversi maupun bupati tempat lahan pengganti akan dibuat jika kawasan penggantinya berada di daerah lain.
Inilah yang menjadi celah aksi penyuapan. Yohan Yap sebagai utusan dari Cahyadi Kumala memberikan uang suap senilai 4.5 milyar yang diberikan secara berangsur kepada Bupati Bogor Rachmat Yasin dan Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Muhammad Zairin. Suap ini diberikan untuk memuluskan langkah PT. BJA memperoleh surat rekomendasi tukar kawasan hutan dari Pemda Kabupaten Bogor.
Sebelumnya menurut Bambang Soepijanto, izin tukar kawasan hutan tidak bisa diberikan Kemenhut karena kawasan yang diminta tumpang-tindih dengan industri lain yang sudah ada di sana. Bambang Soepijanto selaku Dirjen Planologi Kehutanan saat itu pun turut menjadi saksi ahli yang memberatkan para tersangka, yaitu Cahyadi Kumala, Haryadi Kumala, Yohan Yap, Rachmat Yasin, dan Muhammad Zairin.
Dari kasus ini kita bisa melihat betapa hutan dan lingkungan di Indonesia begitu rentan dengan kepentingan bisnis segelintir elit korporasi. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika hutan di Indonesia terus-menerus tergadai oleh kepentingan semacam ini. Kita tahu bahwa lingkungan, terutama hutan, adalah bagian integral dari kehidupan masyarakat.
Dari mulai hutan konservasi yang berfungsi melindungi keanekaragaman hayati bangsa, hingga hutan produksi yang begitu penting untuk kelangsungan ekonomi masyarakat wong cilik. Elit politik yang mudah diajak korupsi adalah ancaman utama dari keberlangsungan ekosistem negeri ini. Karena itu, sangat penting untuk kita memiliki pemimpin politik yang juga berwawasan lingkungan.
Isu lingkungan memang agak jarang menjadi sorotan politisi dewasa ini. Bukan berarti tidak disorot, namun isu ini kerap tertutup oleh isu ekonomi dan bisnis. Padahal secara logika, harusnya kita memikirkan dulu nasib hutan yang menjadi paru-paru untuk kita bernafas, baru kemudian memikirkan uang dan kekayaan. Jika hutan kita terancam, kita tidak bisa bernafas menggunakan uang.
Sebagai warga, sejatinya kita mulai mendesak politisi kita, dari mulai eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mulai mengedepankan isu lingkungan dalam kebijakan yang mereka ambil. Kita perlu lembaga legislatif yang merancang UU berwawasan lingkungan, kita perlu lembaga eksekutif yang mengeluarkan kebijakan lingkungan, dan kita perlu lembaga yudikatif yang siap membela kepentingan lingkungan di hadapan hukum.