[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="Ilustrasi/Republika"][/caption]
Hamzet | No. 53
Pagi yang cerah, secerah wajah Putri saat menyusuri koridor sebuah kantor yang semenjak hari ini resmi mengakui dirinya sebagai bagian dari keluarga besar. Dibacanya setiap tulisan pada pintu-pintu ruang kerja. Ia mencari ruang bertulis: Divisi Penelitian dan Pengembangan.
Sudah hampir 30 menit Putri mengitari koridor kantor 1 lantai yang tak seberapa besar itu tapi belum juga menemukan rambu penunjuk ruang yang dicarinya. Akhirnya ia menyerah dan terpaksa bertanya kepada seorang petugas cleaning service yang sedang membersihan rembesan air di bawah pot bunga.
“Selamat pagi mas.... mmmm... ruang Penelitian dan Pengembangan di mana ya?”
“Pagi mbak, ruang yang mbak tanyakan ya ini.” sahutnya sambil menunjuk pintu kaca sebuah ruangan tepat di belakang Putri.
Putri memutar badannya mengikuti arah yang ditunjuk si cleaning service. Sebuahtulisan Divisi LITBANGterteradi selembar papan kecil.
“Oh... terima kasih mas,” ucapnya seraya setengah membungkuk yang ditanggapi dengan sebuah anggukan.
Putri menghela napas sejenak, berusaha mengurangi rasa gugup yang pelan-pelan merambatinya. Kemudian didorongnya pintu kaca dengan hati-hati. Betapa kagetnya Ia ketika pintu setengah terbuka sesosok pria dengan seraut wajah yang pernah ia kenal berdiri tegap seolah menghalangi jalannya untuk masuk. Namun kemudian sosok yang ternyata adalah Fahmi tersebut beringsut sedikit, memberi jalan.
“Selamat datang Putri, dan silakan duduk di sini”, sapa Fahmi sembari menyodorkan tangannya menyalami Putri.
Lalu Fahmi menggeser kursi di depan sebuah mejanya sebelum kemudian duduk di kursinya sendiri. Tanpa sepatah kata, Putri menurut duduk di kursi yang disediakan. Ia tundukkan kepala menghindari bakutatap dengan pria yang pernah berkali-kali ia tolak cintanya semasa kuliah. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin ini terjadi, batinnya.
“Putri... bekerja di sini harus profesional. Jangan bawa-bawa masa lalu di antara kita dalam urusan kerja. Tinggalkan dan lupakan masa lalu jika itu tidak mengenakkanmu. Artinya, lupakan segala hal tentang diriku, sikapku... atau apa pun sekira itu mengganggumu. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita.” Fahmi membuka pembicaraan sementara Putri masih menunduk menatap lekat ujung sepatunya.
“Put....”
“I... iya...” sahut Putri tergagap.
“Kamu dengarkan aku, kan?”
“S....s...saya coba, pak”
“Bapak?.... hahahha.... yang aku maksud melupakan masa lalu, bukannya merubah frontal sampai ke sapaan akrab. Jika biasa menyapa mas, ya mas saja. Toh kita sama-sama masih muda dan lajang, pula.” jelas Fahmi mendapati Putri menyapanya ‘Pak’.
Mendengar penjelasan Fahmi, pipi Putri merona merah. Namun itu membuatnya lebih tenang dan berani mendongakkan kepala. Sebuah keteduhan ia rasakan ketika matanya menumbuk sorot mata Fahmi.
Suasana batin Putri mulai mencair. Kesan kaku sikapnya berangsur-angsur menghilang saat Fahmi mengajaknya berkeliling ruangan. Selain memperkenalkan dengan jajaran staf yang kelak akan menjadi partner Putri, dengan baik Fahmi mejelaskan secara garis besar metode dan budaya kerja di divisi yang dipimpinnya. Sesekali Putri menanyakan beberapa hal yang belum ia pahami.
***
Sebulan berlalu. Menandai usainya masa orientasi Putri, kepala HRD memanggilnya pagi itu. Ia menghadap seorang diri, tidak seperti biasa yang selalu bersama Fahmi.
“Putri tahu kenapa dipanggil?”
“Maaf, belum tahu Pak.”
“Baik lah, ini tentang hasil orientasi anda dalam sebulan terakhir. Kinerja anda dinyatakan baik... untuk itu anda layak diserahi tugas memimpin Divisi LITBANG, dan penunjukan ini sudah disetujui direksi,” terang kepala HRD. Pernyataan orang penting itu tentu mengagetkan Putri.
“Maaf Pak, saya masih baru di sini. Saya merasa belum menunjukkan prestasi apa pun. Jadi sa...”
Belum tuntas Putri mengucapkan apa yang akan disampaikannya, kepala HRD memotong, “Kami tidak meminta kesediaan anda hari ini. Ada waktu 3 hari untuk berpikir. Agar tenang, selama 3 hari itu anda boleh tidak masuk kantor,” tukas kepala HRD.
Sesampai di rumahnya, waktu masih menujukkan pukul 11.00. Putri membanting tubuhnya ke dipan. Keheranannya belum sirna atas penunjukan dirinya sebagai kepala divisi. Ia masih tak percaya. Belum lagi soal Fahmi yang seolah lenyap ditelan bumi. Tak satu pun dari dua nomor hape Fahmi bisa dihubungi. Ia tahu, Fahmi memang bukan pejabat tetap di Divisi Litbang, tapi begitukah cara Fahmi meninggalkannya sendiri? Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba raib. Tidak seperti biasa, di mana Fahmi selalu membeberkan skedul kerjanya paling tidak H-1.
Fahmi, lelaki yang dengan tekun dan sabar membimbingnya selama ini. Lelaki yang penuh kelembutan namun berwibawa dalam menjelaskan berbagai hal. Satu lagi, lelaki bermata teduh, penuh perhatian dan bertanggung jawab. Benak Putri benar-benar terkepung beribu tanya hingga membuatnya terlelap.
Sudah dua hari Putri belum kunjung mampu memutuskan untuk menerima atau menolak tawaran posisi Kepala Divisi Litbang. Pikirannya justru sesak tentang Fahmi. Ia merasa begitu kehilangan. Baginya, posisi itu tidaklah penting asal bisa bersama Fahmi. Menyadari ada semi cinta di hatinya, ia segera menepis. Tidak mungkin. Mas Fahmi sama sekali tidak menunjukkan gelagat itu, begitu kata hatinya.
Tiba-tiba hapenya berdering. Ada pesan dari Fahmi. ‘Bukain pintunya, aku di depan’, bunyi pesan tersebut. Buru-buru Putri melangkah menuju pintu depan.
“Eit...eit.... dengerin dulu dong...”, Fahmi menahan Putri yang seperti hendak mendampratnya.
“Silakan masuk!” ketus Putri mempersilakan Fahmi.
“Aku tidak akan masuk sebelum kaujawab...”
“Tentang posisi Divisi Litbang itu, kan?” potong Putri.
“Ah, bukan. Itu tidak penting buatku”, tukas Fahmi.
“Lalu?”, Putri mengernyitkan dahi.
“Mau kah kamu menjadi istriku?”
“Mas Fahmiiii.... pliiiiissss jangan buat aku makin bingung”, jerit Putri tertahan
“Putri, aku serius!” Fahmi mengucapkannya dengan tegas dan dingin. Wibawanya menyeruak persis ketika menginstrusikan sesuatu kepada bawahannya.
Mendadak suasana senyap. Beberapa jenak keduanya seperti ditelan beku.
“Ke...ke...kenapa tid... tidak bilang dari kemaren-kemaren, Mas?” Suara Putri terdengar berat. Sebulir air matanya mengalir. Air mata kebahagiaan yang kelak senantiasa menyirami cinta mereka.
Selamat Berbahagia Mengarungi Hidup Baru Fahmi Idris dan Putri Gerry
NB :
· Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
· Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H